Oke guys, lama nggak menyapa reader yang pastinya udah mulai move on dari kisah romanpicisan, gue selaku admin tetep pengen nyapa lewat karya. Iya, ceritanya gue bawa lanjutan cerbung Let it Flow bagian ke 6 yang emang kelamaan banget baru tayang. Nggak usah nanya alasannya, karena gue juga nggak tau. Yang masih mau baca, monggo bisa langsung simak dibawah. Yang nggak juga nggak papa. Pokoknya sebahagiannya loe aja. Oke...
 |
Let It Flow |
“Eh, kayaknya si Okta serius deh deketin Rendy buat jadi gebetannya dia,” kata Satria sambil menyuapkan ayam penyet kedalam mulutnya. Waktu istirahat kali ini ia habiskan hanya bertiga bareng Er dan Alfa.
“Kayaknya sih gitu. Secara tadi udah ngeluh lapar, gilirannya Rendy masih ada kerjaan, di tungguin. Modus banget kan?” Alfa ikut menambahkan.
“Tapi nggak papa juga sih. Toh, Okta juga belum punya pacar, si Rendy juga orangnya baik kok.”
“Nah mumpung bahas si Rendy. Dari kemaren kita udah gatel sebenernya pengen nanya sama loe Er. Loe bilang kalian satu kampus kan dulu. Tapi kok gue liatnya cangung cangungan gitu ya. Malah dua mingguan ini kerja, kita nggak pernah ngeliat kalian ngobrol bareng. Palingan say hallo atau pas lagi bareng sama kita.”
“Hooh, gue juga ngerasa gitu Er. Cuma gue takut aja mau nanya,” Alfa membenarkan kalimat Satria.
“Apaan sih. Perasaan kalian aja itu mah,” bantah Er.
Mulut Satria sudah terbuka untuk membalas, namun urung ketika menyadari Okta yang melangkah mendekat. Terlebih tampang gadis itu terlihat kusut dan sayu.
“Kenapa loe? Kok sendiri? Rendy mana?” tanya Alfa.
“Hufh,” bukannya menjawab Okta malah merebahkan kepalanya ke maja. “Siapa yang nggak lemes. Gue udah bela belain kelaperan nungguin Rendy, taunya doi malah di jemput sama ceweknya buat makan siang bareng diluar. Pake di samperin ke mejanya lagi. Kan kambing.”
****
“Ha? Si Rendy udah punya pacar? Serius loe?”
Okta hanya angkat bahu baru kemudian memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya.
“Perasaan mau nyari jodoh kok gini amat ya. Belum apa apa udah patah hati duluan. Ngenes banget.”
“Nggak usah lebay gitu deh. Kayak nggak ada pilihan lain aja,” sambar Satria.
“Pilihan mah banyak Bang Sat, tapi kebanyakan itu udah ada yang punya. Jadi gimana donk.”
“Kalau udah ada yang punya itu mah bukan pilihan eyang. Itu mah ‘pinginan’ loe namanya,” ralat Satria. Sementara Alfa dan Er seperti biasa hanya menonton sesekali sembari menyuapkan makanan kedalam mulutnya.
“Itu dia masalahnya. Seringnya yang gue pinginin ntu udah ada pemiliknya.”
“Itu laper mata!” tuding Satria.
Okta hanya angkat bahu sembari bergumam. “Makanya gue mau pinginin yang lain aja.”
“Ya harus itu,” setelah sedari tadi hanya jadi pendegar, Alfa akhirnya ikutan buka mulut.
“Tapi jangan cuma pingin aja, tapi di tarik! Tunjukin kalau loe itu cewek menarik.”
“Gue kurang menarik apa lagi coba Bang?” kata Okta sambil mendekatkan wajahnya kearah Satria. Sebaliknya, pria itu malah menarik tubuhnya mundur. “Tampang gue? Oke. Body? Apalagi! Hati? Masya Allah deh,” setelah sekian lama tobat, penyakit narsis Okta kembali kumat.
“Kok gegara kalimat loe barusan gue jadi jijik ya?”
“Ha ha ha. Muntah gih Bang. Muntah!”
“Nggak lah, gue bercanda,” kata Satria sambil meperbaiki mimik mukanya. “Gue nggak jijik, gue cuma geli aja ngeliat loe yang dengan pedenya muji diri sendiri.”
“Nggak terima banget loe kayaknya Bang. Lagian kalau bukan gue yang muji diri gue sendiri, siapa lagi? Paling emak bapak gue doank.”
“Enggak eyang, bukan gitu. Gue terima kok kalau loe itu punya tampang oke, body apalagi. Cuma bagian ‘ hati yang masya Allah’ aja yang gue nggak setuju.”
“Kenapa yang soal hati Bang Sat nggak setuju? Coba ungkapkan alasannya,” serang Okta persis seperti seseorang sedang di sidang.
Sebelum menjawab, Satria terlebih dahulu menyambar gelas teh O beng disampingnya. Menengaknya hingga tandas baru kemudian menoleh kearah Okta, bersiap untuk menjelaskan argumennya. “Soalnya semua orang juga udah tau Eyang, kalau loe itu suka asal njeplak, bahkan cenderung jorok. Hati masya Allah mah gak mungkin gitu. Belum lagi hobby loe yang suka mancing di air keruh. Loe kan demen banget ngomporin orang yang berantem. Sama ngejelek – jelekin orang jelek juga.”
“Huwehehehehe,” Okta terkekeh. “Inti dari semua adalah karena gue adalah orang yang jujur bang.”
“Tunggu dulu!” tak memberi kesempatan Satria untuk kembali buka mulut, Er yang sedari tadi betah hanya menjadi penonton tiba tiba menyela. “Ini sebenernya lagi pada ngobrloin apaan sih?”
Tak ada jawaban sama sekali, karena baik Okta maupun Satria lebih memilih tertawa lepas.
***
Minggu pagi yang cerah, rumput yang basah karena embun, serta hawa dingin yang sedikit menusuk kulit. Namun begitu, dataran Engku putri sudah di penuhi oleh orang – orang yang siap untuk menelurkan keringat. Biar sehat.
Diantara sekian banyak orang – orang yang ikut lari pagi, atau sekedar hang out bareng keluarga, Er tampak sedang lari mengelilingi lapangan. Napasnya yang sudah ngos ngosan di tambah larinya yang semakin lamban sudah cukup untuk menunjukan jika gadis itu telah kelelahan.
Setelah sedikit memaksakan diri guna menuntaskan satu putaran lagi, akhirnya Er menyerah. Tanpa memikirkan celana trainingnya yang mungkin akan kotor, gadis itu mendaratkan tubuhnya dengan begitu saja di atas rumput. Tak lupa di sekanya keringat di wajah dengan handuk yang ia bawa.
Masih sembari menetralkan deru nafasnya, tangan Er terulur guna meijit kakinya sedikit sedikit agar rasa lelah bisa berkurang. Musik Alan walker masih setia mengalun dari earphond yang terpasang di kedua telingannya.
Wajah Er yang sedari tadi menunduk, memperhatikan tangannya yang sibuk menepuk – nepuk kakinya terhenti seiring dengan sepasang kaki yang berdiri di dekatnya. Secara perlahan kepalanya mendongak untuk menilik siapa pemilik dari sepasang kaki tersebut.
“Rendy?” gumam Er lirih. Tangannya perlahan melepaskan headset dengan tatapan tetap terjurus kearah sosok dihadapannya yang kini tampak melemparkan senyuman.
“Sendirian?” tanya Rendy sambil duduk di samping Er.
Er sendiri hanya membalas dengan anggukan sembari membenarkan duduknya. Kakinya yang sedari tadi selonjoran ia tarik guna duduk bersila. Matanya sendiri mengawasi sekitar, memastikan bahwa Rendy juga sendirian. Kebetulan banget sih mereka bisa ketemu disini. Padahal Engku Putri kan luas.
“Loe sendirian juga?” tanya Er kemudian.
Rendy tersenyum baru kemudian mengeleng. Matanya menoleh kearah hadapan sembari tangannya memberikan lambaian. Walau tak mengerti, Er mengikuti arah tatapannya. Keningnya sedikit berkerut ketika menyadari seorang gadis yang menenteng plastik asoi yang melangkah menghampirinya.
“Kenalin Sa. Temen aku, Ingrid,” kata Rendy pada sosok gadis yang kini berdiri dihadapannya. “Ingrid, kenalin. Ini Erisa, temen kampus dulu.”
Sambil melontarkan seulas senyum, Er mengulurkan tangan sambil menyebutkan nama yang di sambut gadis itu dengan tindakan yang sama.
“Kamu larinya cepet banget sih Ren. Aku kan cape.”
Tanpa komentar, Er hanya menoleh sekilas. Dalam diam ia mengamati tingkah Ingrid yang kini duduk di samping Rendy. Dari nada yang ia gunakan, Er menebak sikapnya. Cantik sih, terkesan kemayu. Tapi manja. Dan terus terang Er paling risih kalau melihat ada seseorang yang sengaja mengubah nada suaranya menjadi sok di manja manjain gitu. Apalagi usianya sudah bukan ABG lagi.
Pertemuan pertama yang sukses membuat penilaian Ingrid minus di matanya.
“Lagian kamu sih, kan tadi aku udah bilang. Aku kesini mau lari pagi. Lah, baru juga satu putaran kamu udah ngos ngosan. Makanya aku bilang mendingan duduk tungguin aku aja.”
“Tapi kan aku pengen nemenuin kamu. Iihh…”
Jijay. Demi apa ini mah, Er harus terjebak diantara pasangan aku-kamu gini?
“Eh, kaki gue udah mendingan. Gue lanjut lari lagi ya,” tanpa menunggu balasan, Er bangkit berdiri. Lebih baik ngos ngosan keliling lapangan deh dari pada mual – mual jika tetap di tempat. Mana ia belum sarapan lagi.
“Memangnya nggak cape? Udah berapa putaran sih tadi?”
Langkah kaki Er terhenti. Bukannya menjawab, gadis itu malah memutar pandangan kebelakang baru kemudian kembali menatap kesampingnya.
“Temen loe mana? Loe tinggalin?” bukannya menjawab pertanyaan yang di lontarkan, Er lebih memilih mengemukakan rasa herannya.
“Biarin aja. Aku kesini kan mau lari pagi. Dia yang mau ikut dia juga yang kecapean. Mendingan juga nunggu disitu deh,” balas Rendy lagi.
Er hanya mengangguk, sembari angkat bahu. Tak ingin mempermasalahkan lebih jauh, ia kembali melanjutkan larinya. Lagian kalau di pikir, kenapa juga Rendy harus mengikutinya begini. Memang sih, Er sudah memutuskan untuk melupakan masa lalu, tapi berada di dekat Rendy dengan tanpa terduga begini membuatnya merasa tidak nyaman.
“Sering lari disini Sa?” tanya Rendy sambil berlari menyeimbangi kaki ramping Er.
“Kadang, kalau pas rajinnya kumat.”
Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Hanya suara langkah kaki yang beradu dengan aspal yang terdengar.
Next to
cerbung Let It Flow Part 7
Detail Cerbung
Lanjutkan dengab semangat kakkkkk
ReplyDeleteGak sabar buat kelanjutannya kak
ReplyDeleteGak sabar buat kelanjutannya kak
ReplyDeleteKok gk d lnjut lg... pdhl crt nya bgus2 cnth ny the girl is mine jg gk ad lnjutany .... lg hiatus at gmn..
ReplyDelete