Cerpen Pendek Remaja "I Like You"
Mumpung besok libur, yang punya hobby traveling bisa deh melala ke mana mana. Sementara selaku anak rumahan kayak gue mah, mendingan otak atik blog aja. Masih dengan seputaran cerita pendek "I like you". Yang penasaran sama jalan ceritanya, bisa langsung simak ke bawah. Oke... Happy reading....
“Sya, loe tau nggak. Di kampus kita ada mahasiswa baru. Namanya Devan. Mana sekelas lagi sama kita. Ya ampun, keren gila bo’. Wajahnya itu lho, suwer deh nggak bakal malu – maluin buat di bawa kondangan,” cerocos Angela antusias sambil terus melangkah. Kebetulan hari ini ada kuliah pagi. Sementara Marysa, yang diajak ngomong malah sibuk ngotak atik hape tanpa menoleh.
"Oh ya?” tanya Marsya terlihat sama sekali tidak tertarik. Komentar barusan juga hanya sekedar formalitas, membuat Angela memberengut sebel.
“Ih, gue serius juga."
“Iya deh. Kalau dia memang sekeren itu terus kerenan mana sama si Galang?” pancing Marsya. Kali ini sambil menoleh untuk melihat reaksi lawan bicaranya. Ia juga sengaja memberikan perbandingan sang pacar sahabatnya dengan harapan mulut gadis itu bisa segera tertutup sekalian mensekip agenda ngambek ngambekan.
“Nah justru itu. Percaya nggak? Mereka kerennya sama. Baik wajah maupun style. Ya iya lah secara mereka kembar gitu lho,” terang Angela kembali mengebu - gebu.
Kali ini langkah Marsya terhenti. Matanya menatap kearah Angela dengan tatapan tak percaya. Sepertinya sahabatnya itu telah berhasil menarik perhatiannya. Sementara yang di tatap hanya mengedip ngedipkan matanya dengan raut wajah polos.
“Loe serius?” tanya Marsa kemudian. “Jadi Galang punya kembaran?” sambung Marsa lagi.
“Ya enggaklah. Tentu saja gue bohong,” balas Angela sambil tertawa puas karena berhasil mengerjai sahabatnya. Lagi pula Marsya kan suka gitu, sok sokan nggak tertarik kalau diajak ngobrol.
“Lagian salah loe sendiri si. Gue ngomong panjang lebar sedari tadi di cuekin mulu."
“Please deh, Angela. Loe kan udah punya pacar, la terus kenapa masih harus ngurusin cowok laen si. Pake muji – muji segala lagi. Kalau sampe Galang tau kan bisa gaswat."
“Justru karena gue udah punya pacarlah makanya gue cerita in ke elo."
Marsya mengernyit, memang apa hubungannya?
"Maksud loe?"
“Gue pengen jodohin sama loe,” todong Angela tanpa tedeng aling aling.
“Uhuk – uhuk,” Marsya yang kebetulan sedari tadi mengulum permen kontan tersedak. Bukan, bukan karena omongan Angela barusan. Tapi karena matanya tiba – tiba menemukan objek pandangan yang benar – benar menarik perhatiannya sampai tanpa sadar mulutnya malah mangap. Melupakan permen yang di kulum yang mendadak ikutan meluncur melewati tengorokan.
“Loe kenapa si? Kalau makan hati – hati donk,” kata Angela tak urung mengusap – usap punggung Marsya.
“Angela, loe tau nggak dia siapa?”
Mengabaikan tengorokannya yang masih sedikit nyeri, Marsya segera menyuarakan rasa penasarannya. Tangannya menunjuk lurus kehadapan. Petunjuk agar Angela melihat apa yang dimaksud. Tanpa sadar sebelah alis Angela sedikit terangkat, sedetik kemudian sebuah senyuman mencibir bertenger di bibirnya.
"Nah, dia itu orang yang sedari tadi gue maksud. Gimana? Keren kan?" kata Angela puas. Terlebih ketika melihat tatapan tertarik di wajah Marsya.
"Jadi yang sedari tadi kita omongin itu dia?" tanya Angela. Walau bingung melihat mata sahabatnya yang terlihat berbinar – binar tak urung Angela mengangguk membenarkan.
“Oke, kalau begitu gue setuju. Loe bisa jodohin gue sama dia."
“Ha?”
“La tadi loe kan bilang loe mau jodohin dia sama gue. Ya sekarang gue bilang, gue setuju. Loe bisa jodohin gue sama dia,” terang Marsya. Kali ini dengan kalimat yang lebih panjang.
“He he he, ngaco loe. Loe nggak serius kan?” tanya Angela terlihat horor.
“Tentu saja serius. La kan tadi loe sendiri yang nawarin."
“Ampun deh Marsya," Angela mengeleng - gelengkan kepalanya kesel. "Gue tadi cuma bercanda aja kali. Kenal juga belum. Ketemu juga baru kemaren. Tau namanya juga baru tadi. Yang benar saja lah."
"Jadi loe nggak mau jodohing gue?" gumam Marsya. Belum sempat Angela menjawab, ia sudah lebih dahulu menambhakan. "Ya udah, nggak papa kalau gitu. Biar gue usaha sendiri."
“Maksutnya?” tanya Angela bingung.
Marsya hanya angkat bahu sambil tersenyum penuh makna membuat mulut Angela makin terbuka lebar tanpa suara yang keluar sama sekali. Ayolah, ini sama sekali nggak lucu. Semua orang juga tau kalau sahabatnya yang satu itu belum pernah terlihat jalan bareng cowok dalam arti yang sesungguhnya. Atau bahasa sederhannya punya pacar. Tapi kenapa sekarang? Akh, Angela sama sekali tidak berani melanjutkan pemikiran liarnya. Kepalanya hanya mampu mengeleng – geleng tak percaya. Lagipula sepertinya itu bukan ide buruk.
Tekad Marsya ternyata bukan hanya isapan jempol semata. Terbukti dengan apa yang ia lakukan selanjutnya. Begitu kelas berakhir, ia segera menghampiri Devan. Terlebih sitkonnya juga mendukung. Di hari pertama kuliah, pria itu malah menyendiri di perpus. Agak aneh sih, tapi bodoh amat. Mungkin itu memang takdir yang di atur oleh yang di atas untuk memudahkan Marysa mendekatinya tanpa ganguan dari yang lain.
“Devan kenalin gue Marsya."
Sosok yang sedari menunduk kini mengangkat wajahnya. Keningnya sedikit berkerut tanda ia sedang bingung. Ia yakin ia tidak mengenali gadis yang berdiri di hadapannya. Tapi Marsya tetap cuek. Tangannya masih terulur mengajak berjabatan.
“Kita sekelas. Kebetulan tadi kita kan belum kenalan,” sambung Marsya memperjelas siapa dirinya. Tak lupa ia menyodorkan senyum manis di bibirnya. Siapa tau senyumannya bisa membuat hati Devan luluh.
“O," ujar Devan sebelum kemudian kembali mengalihkan tatapannya kearah buku yang sedari tadi ia baca.
Marsya bengong. Jangan kan membalas uluran tangannya, bahkan kalimat yang keluar dari mulutnya juga hanya satu huruf ‘o’ doank. Untuk di sebut sebagai sepatah kata saja tidak cukup apalagi sebagai kalimat.
“Apa ada lagi?” tanya Devan tanpa menoleh. Matanya masih asik menatap kearah buku yang ada di tangannya. Marsya saja sempat sanksi bahwa pria itu sedang berbicara kepadanya.
"Kenapa? Masih ada yang pengen loe omongin ke gue?" tanya Devan. Kali ini ia menutup bukunya baru kemudian menatap kearah Marysa.
“Loe kan belum menyebutkan nama loe,” Marsya mengingatkan. Lagian biasanya kalau ngajak kenalan gitu kan? Dia menyebutkan namanya, lawan bicaranya juga gitu. Apalagi jelas jelas tangan Marsya masih terulur ngajak salaman.
“Bukannya tadi loe juga sudah manggil nama gue?” Devan balik bertanya. Membuat Marsya mati gaya dan hanya mampu menganggukan kepala membenarkan. Tangannya yang sedari tadi terulur kini ia tarik kembali.
“Ya sudah kalau gitu. Harusnya gue nggak perlu mengulanginya lagi kan? Lagi pula gue sekarang lagi pengen konsentrasi membaca."
Mendengar itu membuat marsya hanya tersenyum kecut. Hey, bukannya itu sebuah kalimat sindiran untuk mengusir orang ya?
“Ya udah kalau gitu, gue permisi dulu. Maaf kalau udah ganggu loe. Kalau gitu silahkan di lanjutkan bacaannya,” kata Marsya sebelum kemudian berlalu.
Gagal dengan usaha pertamanya, Marsya segera melangkah kearah kantin. Mengedarkan pandangannya kesekeliling, saat melihat Angela yang melambaikan tangannya, gadis itu segera melangkah menghampiri.
“Astaga marsya, loe serius tadi dia secuek itu?” tanya Angela tak percaya saat mendengar cerita yang keluar dari mulut Marsya selang beberapa saat yang lalu. Ia memang penasaran saat mendengar bahwa Marsya akan langsung menghampiri Devan tadi.
“Ya serius lah. Sejak kapan juga pernah bohong,” kata Marsya sambil menikmati mie Soo pesanannya. Sedikit mencicipi rasa kuahnya. Merasa hambar, tangannya terulur menyambar botol kecap yang ada di hadapan.
“Ih, loe kok santai gitu si? Gue yang suma denger aja kesel."
“Lho memangnya gue harus gimana?”
“Loe nggak kesel sama tu orang?”
Tanpa berpikir, Marsya mengeleng. Membuat Angela mengernyit bingung. Apalagi sahabatnya dengan santai terus melanjutkan acara makannya.
“Bukannya dia keterlaluan ya?”
“Dikit. Tapi mau gimana lagi, kan yang dia omongin tadi kan bener."
“Jadi?”
“Jadi?” Marsya ngebeo. Sama sekali tak mengerti maksut ucapan sahabatnya.
“Ya jadi gimana. Loe masih tetap tertarik sama tu orang?” tanya Angela lagi.
“Tentu saja,” balas Marsya. “Jujur saja dia itu orang pertama yang bisa membuat gue merasa tertarik. Jadi gue nggak akan melepaskannya dengan begitu saja."
“Tapi kan....”.
“Gue nggak akan pernah melepaskan sesuatu yang gue inginkan tanpa terlebih dahulu melakukan perjuangan Angela,” potong Marsya bahkan sebelum Angela sempat menyuarakan rasa keberatannya. Melihat tekad sahabatnya, akhirnya gadis itu hanya memilih angkat bahu baru kemudian ikut melanjutkan makannya.
Lagi, Marsya membuktikan ucapannya. Sudah lebih dari dua minggu ia dengan gencar melakukan pendekatan ke arah Devan walaupun tanggapannya selalu dingin. Pria itu terus mengacuhkan dirinya. Bahkan Angela sudah berkali – kali menasehati Marsya untuk menghentikan usahanya. Namun nasehat itu tidak ia gubris sama sekali.
Sampai kini ada yang beda. Saat kebetulan Marsya dan Angela jalan beriringan menuju ke kelas ia berpapasan dengan Devan. Untuk pertama kalinya, gadis itu tidak menyapanya duluan. Bahkan ia bersikap seperti tak melihatnya sama sekali. Membuat Kening Angela berkerut melihatnya.
“Marsya, bukannya barusan itu Devan ya?” bisik Angela lirih.
“Kayaknya si. Memangnya kenapa?” tanya Marsya heran.
“Kok loe nyantai aja?”
“Memangnya gue harus ngapain?” lagi – lagi Marsya membalas pertanyaan dengan balik bertanya membuat Angela menghela nafas. Sama sekali tidak berniat melajutkan pertanyaanya.
“Sudah lah, lupain aja. Kekelas aja langsung yuk.”
Marsya masih terus menikmati makanan pesanannya sambil sesekali menatap kedepan. Kaffe tempatnya biasa nongkrong memang sedang ramai sore itu. Sementara Angela yang ada di hadapannya masih terdiam. Tidak tau mau berkata apa karena selang dua meja dari mereka tampak Devan yang juga sedang menikmati makanannya. Dan Angela sempat menangkap basah arah pandangan Devan yang jelas – jelas sedang memperhatikan gerak – gerik Marsya yang terlihat cuek. Sama sekali tidak terpengaruh dengan kehadiranya. Padahal biasanya gadis itu sangat angresif mendekatinya. Namun seminggu kebelakang ada yang beda. Marsya bersikap acuh saat bertemu Devan.
Angela masih belum menemukan topik pembicaraan yang pas saat mendapati Marsya yang tiba – tiba bangkit dari duduknya. Dan Angela makin kaget begitu mengetahui arah tujuan Marsya yang jelas – jelas sedang melangkah ke arah Devan.
“Mau apa lagi loe?” akhirnya Devan mengalah dan memilih menyapa duluan ketika melihat Marsya yang sedari tadi hanya berdiri di depannya tanpa berkata apa pun. Tak urung tingkahnya membuat perhatian seisi kaffe menoleh kearah mereka
“Kenapa loe sedari tadi merhatiin gue?” todong Marsya langsung.
“Apa?”. Bukan berarti Devan tidak mendengar ucapan Marsya barusan. Ia hanya ingin memastikan bahwa pendengarannya tidak sedang bermasalah.
“Gue nanya kenapa loe sedari tadi merhatiin gue. Loe naksir ya?” ulang Marsya lagi.
“Nggak salah. Kenapa gue harus memperhatikan elo?" kesel Devan tidak terima di tuduh begitu.
“Nah justru karena gue nggak tau lah makanya gue nanya kenapa elo mem...”
“Gue nggak memperhatikan loe tuh,” potong Devan cepat.
“Sedari tadi menatap gue tanpa berkedip. Kalau bukan memperhatikan lantas apa donk namanya?”
“Memang nya siapa yang bilang gue mandangin elo?” bantah Devan. “Dia?” tunjuknya kearah Angela dengan nada meledek.
“Hanya karena gue kebetulan bersitatap sama dia loe langsung keGeEran. Mengira kalau gue memperhatikan elo. Eh denger ya, gue tadi cuma....”
“Angela nggak ngomong apa – apa. Tapi gue tau karena gue ngelihat sediri."
“Jangan ngarang. Sedari tadi gue perhatiin loe sama sekali nggak pernah menoleh kearah gue. Malah gue ragu loe tau gue ada disini,” bantahan Devan barusan tak uruang membuat Marsya tersenyum. Sedangkan Angela tidak mampu menahan tawanya. Sementara Devan sendiri hanya mampu merutuki dalam hati. Ini si bukan membantah, tapi jelas – jelas dia ngaku.
“Gue memang nggak mandang elo langsung. Tapi gue liat nya dari sana,” tunjuk Marsya kearah depan. Kening Devan berkerut melihatnya namun beberpa saat kemudian barulah ia menyadari maksut ucapan Marsya. Dasar bodoh, Kaffe itu kan memang di kelilingi kaca dan dari tempat Marsya tadi duduk kebetulan memang tempat yang paling strategis untuk memperhatikannya tanpa di ketahui.
“Ehem, kalau gitu sudah jelaskan kalau sebenernya yang sibuk mencuri pandang diam – diam itu elo?” serang Devan balik. Membuat mulut Angela yang sedari tadi hanya menonton mangap. Ni cowok satu udah ketangkep basah masih juga nggak mau ngaku.
“Gue akuin,” balas Marsya cuek.
“Terus maksutnya apa?” tanya Devan lagi.
“Gue suka sama loe?”
“Ha?” bukan cuma Devan yang kaget, tapi juga Angela dan seluruh pengunjung kaffe yang ikut menyaksikan. Ada gitu cewek model ginian?
“Karena itu, kita jadian yuk,” ajak Marsya dengan polosnya.
Untuk sejenak suasana hening, sepi. Devan masih terdiam. Sementara pengunjung yang lain juga ikut terdiam sembari menunggu jawaban yang keluar dari mulut pria itu. Sampai selang beberapa saat kemudian, terdengarlah alunan lagu dari radio pemilik kaffe. Sebuah lagu yang sepertinya pas banget dengan sitkon mereka saat ini. “Yuk kita jadian” miliknya Melly goeslow yang perlahan mengiringi.
Anak kecil main mobil, mobil mobilan
Maen motor juga paling motor – motoran
Jatuh cinta juga paling cinta – cintaan
Belum beneran
Kita yang sudah besar harusnya serius
Jatuh cinta juga harus cinta beneran
Kau pernah tertangkap basah sedang menatapku
Tanpa berkedip.
Kalau cinta sebaiknya di ucap
Belum tentu kau masih punya hari esok
Banyak gengsi banyak mikir kelamaan
Yuk kita jadian
Di depanku kau pura-pura dingin
namun matamu tak mungkin bisa berdusta
sampai nanti kau tak mungkin ngaku
biarlah aku yang mulai
Mobil ku bukan mobil mobilan
Motor ku bukan motoran
Cintaku bukan cinta cintaan
Tiada yang palsu
Yuk kita jadian.
Ending
Detail Cerpen
“Sya, loe tau nggak. Di kampus kita ada mahasiswa baru. Namanya Devan. Mana sekelas lagi sama kita. Ya ampun, keren gila bo’. Wajahnya itu lho, suwer deh nggak bakal malu – maluin buat di bawa kondangan,” cerocos Angela antusias sambil terus melangkah. Kebetulan hari ini ada kuliah pagi. Sementara Marysa, yang diajak ngomong malah sibuk ngotak atik hape tanpa menoleh.
"Oh ya?” tanya Marsya terlihat sama sekali tidak tertarik. Komentar barusan juga hanya sekedar formalitas, membuat Angela memberengut sebel.
“Ih, gue serius juga."
“Iya deh. Kalau dia memang sekeren itu terus kerenan mana sama si Galang?” pancing Marsya. Kali ini sambil menoleh untuk melihat reaksi lawan bicaranya. Ia juga sengaja memberikan perbandingan sang pacar sahabatnya dengan harapan mulut gadis itu bisa segera tertutup sekalian mensekip agenda ngambek ngambekan.
“Nah justru itu. Percaya nggak? Mereka kerennya sama. Baik wajah maupun style. Ya iya lah secara mereka kembar gitu lho,” terang Angela kembali mengebu - gebu.
Kali ini langkah Marsya terhenti. Matanya menatap kearah Angela dengan tatapan tak percaya. Sepertinya sahabatnya itu telah berhasil menarik perhatiannya. Sementara yang di tatap hanya mengedip ngedipkan matanya dengan raut wajah polos.
“Loe serius?” tanya Marsa kemudian. “Jadi Galang punya kembaran?” sambung Marsa lagi.
“Ya enggaklah. Tentu saja gue bohong,” balas Angela sambil tertawa puas karena berhasil mengerjai sahabatnya. Lagi pula Marsya kan suka gitu, sok sokan nggak tertarik kalau diajak ngobrol.
“Lagian salah loe sendiri si. Gue ngomong panjang lebar sedari tadi di cuekin mulu."
“Please deh, Angela. Loe kan udah punya pacar, la terus kenapa masih harus ngurusin cowok laen si. Pake muji – muji segala lagi. Kalau sampe Galang tau kan bisa gaswat."
“Justru karena gue udah punya pacarlah makanya gue cerita in ke elo."
Marsya mengernyit, memang apa hubungannya?
"Maksud loe?"
“Gue pengen jodohin sama loe,” todong Angela tanpa tedeng aling aling.
“Uhuk – uhuk,” Marsya yang kebetulan sedari tadi mengulum permen kontan tersedak. Bukan, bukan karena omongan Angela barusan. Tapi karena matanya tiba – tiba menemukan objek pandangan yang benar – benar menarik perhatiannya sampai tanpa sadar mulutnya malah mangap. Melupakan permen yang di kulum yang mendadak ikutan meluncur melewati tengorokan.
“Loe kenapa si? Kalau makan hati – hati donk,” kata Angela tak urung mengusap – usap punggung Marsya.
“Angela, loe tau nggak dia siapa?”
Mengabaikan tengorokannya yang masih sedikit nyeri, Marsya segera menyuarakan rasa penasarannya. Tangannya menunjuk lurus kehadapan. Petunjuk agar Angela melihat apa yang dimaksud. Tanpa sadar sebelah alis Angela sedikit terangkat, sedetik kemudian sebuah senyuman mencibir bertenger di bibirnya.
"Nah, dia itu orang yang sedari tadi gue maksud. Gimana? Keren kan?" kata Angela puas. Terlebih ketika melihat tatapan tertarik di wajah Marsya.
"Jadi yang sedari tadi kita omongin itu dia?" tanya Angela. Walau bingung melihat mata sahabatnya yang terlihat berbinar – binar tak urung Angela mengangguk membenarkan.
“Oke, kalau begitu gue setuju. Loe bisa jodohin gue sama dia."
“Ha?”
“La tadi loe kan bilang loe mau jodohin dia sama gue. Ya sekarang gue bilang, gue setuju. Loe bisa jodohin gue sama dia,” terang Marsya. Kali ini dengan kalimat yang lebih panjang.
“He he he, ngaco loe. Loe nggak serius kan?” tanya Angela terlihat horor.
“Tentu saja serius. La kan tadi loe sendiri yang nawarin."
“Ampun deh Marsya," Angela mengeleng - gelengkan kepalanya kesel. "Gue tadi cuma bercanda aja kali. Kenal juga belum. Ketemu juga baru kemaren. Tau namanya juga baru tadi. Yang benar saja lah."
"Jadi loe nggak mau jodohing gue?" gumam Marsya. Belum sempat Angela menjawab, ia sudah lebih dahulu menambhakan. "Ya udah, nggak papa kalau gitu. Biar gue usaha sendiri."
“Maksutnya?” tanya Angela bingung.
Marsya hanya angkat bahu sambil tersenyum penuh makna membuat mulut Angela makin terbuka lebar tanpa suara yang keluar sama sekali. Ayolah, ini sama sekali nggak lucu. Semua orang juga tau kalau sahabatnya yang satu itu belum pernah terlihat jalan bareng cowok dalam arti yang sesungguhnya. Atau bahasa sederhannya punya pacar. Tapi kenapa sekarang? Akh, Angela sama sekali tidak berani melanjutkan pemikiran liarnya. Kepalanya hanya mampu mengeleng – geleng tak percaya. Lagipula sepertinya itu bukan ide buruk.
Tekad Marsya ternyata bukan hanya isapan jempol semata. Terbukti dengan apa yang ia lakukan selanjutnya. Begitu kelas berakhir, ia segera menghampiri Devan. Terlebih sitkonnya juga mendukung. Di hari pertama kuliah, pria itu malah menyendiri di perpus. Agak aneh sih, tapi bodoh amat. Mungkin itu memang takdir yang di atur oleh yang di atas untuk memudahkan Marysa mendekatinya tanpa ganguan dari yang lain.
“Devan kenalin gue Marsya."
Sosok yang sedari menunduk kini mengangkat wajahnya. Keningnya sedikit berkerut tanda ia sedang bingung. Ia yakin ia tidak mengenali gadis yang berdiri di hadapannya. Tapi Marsya tetap cuek. Tangannya masih terulur mengajak berjabatan.
“Kita sekelas. Kebetulan tadi kita kan belum kenalan,” sambung Marsya memperjelas siapa dirinya. Tak lupa ia menyodorkan senyum manis di bibirnya. Siapa tau senyumannya bisa membuat hati Devan luluh.
“O," ujar Devan sebelum kemudian kembali mengalihkan tatapannya kearah buku yang sedari tadi ia baca.
Marsya bengong. Jangan kan membalas uluran tangannya, bahkan kalimat yang keluar dari mulutnya juga hanya satu huruf ‘o’ doank. Untuk di sebut sebagai sepatah kata saja tidak cukup apalagi sebagai kalimat.
“Apa ada lagi?” tanya Devan tanpa menoleh. Matanya masih asik menatap kearah buku yang ada di tangannya. Marsya saja sempat sanksi bahwa pria itu sedang berbicara kepadanya.
"Kenapa? Masih ada yang pengen loe omongin ke gue?" tanya Devan. Kali ini ia menutup bukunya baru kemudian menatap kearah Marysa.
“Loe kan belum menyebutkan nama loe,” Marsya mengingatkan. Lagian biasanya kalau ngajak kenalan gitu kan? Dia menyebutkan namanya, lawan bicaranya juga gitu. Apalagi jelas jelas tangan Marsya masih terulur ngajak salaman.
“Bukannya tadi loe juga sudah manggil nama gue?” Devan balik bertanya. Membuat Marsya mati gaya dan hanya mampu menganggukan kepala membenarkan. Tangannya yang sedari tadi terulur kini ia tarik kembali.
“Ya sudah kalau gitu. Harusnya gue nggak perlu mengulanginya lagi kan? Lagi pula gue sekarang lagi pengen konsentrasi membaca."
Mendengar itu membuat marsya hanya tersenyum kecut. Hey, bukannya itu sebuah kalimat sindiran untuk mengusir orang ya?
“Ya udah kalau gitu, gue permisi dulu. Maaf kalau udah ganggu loe. Kalau gitu silahkan di lanjutkan bacaannya,” kata Marsya sebelum kemudian berlalu.
Gagal dengan usaha pertamanya, Marsya segera melangkah kearah kantin. Mengedarkan pandangannya kesekeliling, saat melihat Angela yang melambaikan tangannya, gadis itu segera melangkah menghampiri.
“Astaga marsya, loe serius tadi dia secuek itu?” tanya Angela tak percaya saat mendengar cerita yang keluar dari mulut Marsya selang beberapa saat yang lalu. Ia memang penasaran saat mendengar bahwa Marsya akan langsung menghampiri Devan tadi.
“Ya serius lah. Sejak kapan juga pernah bohong,” kata Marsya sambil menikmati mie Soo pesanannya. Sedikit mencicipi rasa kuahnya. Merasa hambar, tangannya terulur menyambar botol kecap yang ada di hadapan.
“Ih, loe kok santai gitu si? Gue yang suma denger aja kesel."
“Lho memangnya gue harus gimana?”
“Loe nggak kesel sama tu orang?”
Tanpa berpikir, Marsya mengeleng. Membuat Angela mengernyit bingung. Apalagi sahabatnya dengan santai terus melanjutkan acara makannya.
“Bukannya dia keterlaluan ya?”
“Dikit. Tapi mau gimana lagi, kan yang dia omongin tadi kan bener."
“Jadi?”
“Jadi?” Marsya ngebeo. Sama sekali tak mengerti maksut ucapan sahabatnya.
“Ya jadi gimana. Loe masih tetap tertarik sama tu orang?” tanya Angela lagi.
“Tentu saja,” balas Marsya. “Jujur saja dia itu orang pertama yang bisa membuat gue merasa tertarik. Jadi gue nggak akan melepaskannya dengan begitu saja."
“Tapi kan....”.
“Gue nggak akan pernah melepaskan sesuatu yang gue inginkan tanpa terlebih dahulu melakukan perjuangan Angela,” potong Marsya bahkan sebelum Angela sempat menyuarakan rasa keberatannya. Melihat tekad sahabatnya, akhirnya gadis itu hanya memilih angkat bahu baru kemudian ikut melanjutkan makannya.
Lagi, Marsya membuktikan ucapannya. Sudah lebih dari dua minggu ia dengan gencar melakukan pendekatan ke arah Devan walaupun tanggapannya selalu dingin. Pria itu terus mengacuhkan dirinya. Bahkan Angela sudah berkali – kali menasehati Marsya untuk menghentikan usahanya. Namun nasehat itu tidak ia gubris sama sekali.
Sampai kini ada yang beda. Saat kebetulan Marsya dan Angela jalan beriringan menuju ke kelas ia berpapasan dengan Devan. Untuk pertama kalinya, gadis itu tidak menyapanya duluan. Bahkan ia bersikap seperti tak melihatnya sama sekali. Membuat Kening Angela berkerut melihatnya.
“Marsya, bukannya barusan itu Devan ya?” bisik Angela lirih.
“Kayaknya si. Memangnya kenapa?” tanya Marsya heran.
“Kok loe nyantai aja?”
“Memangnya gue harus ngapain?” lagi – lagi Marsya membalas pertanyaan dengan balik bertanya membuat Angela menghela nafas. Sama sekali tidak berniat melajutkan pertanyaanya.
“Sudah lah, lupain aja. Kekelas aja langsung yuk.”
Marsya masih terus menikmati makanan pesanannya sambil sesekali menatap kedepan. Kaffe tempatnya biasa nongkrong memang sedang ramai sore itu. Sementara Angela yang ada di hadapannya masih terdiam. Tidak tau mau berkata apa karena selang dua meja dari mereka tampak Devan yang juga sedang menikmati makanannya. Dan Angela sempat menangkap basah arah pandangan Devan yang jelas – jelas sedang memperhatikan gerak – gerik Marsya yang terlihat cuek. Sama sekali tidak terpengaruh dengan kehadiranya. Padahal biasanya gadis itu sangat angresif mendekatinya. Namun seminggu kebelakang ada yang beda. Marsya bersikap acuh saat bertemu Devan.
Angela masih belum menemukan topik pembicaraan yang pas saat mendapati Marsya yang tiba – tiba bangkit dari duduknya. Dan Angela makin kaget begitu mengetahui arah tujuan Marsya yang jelas – jelas sedang melangkah ke arah Devan.
“Mau apa lagi loe?” akhirnya Devan mengalah dan memilih menyapa duluan ketika melihat Marsya yang sedari tadi hanya berdiri di depannya tanpa berkata apa pun. Tak urung tingkahnya membuat perhatian seisi kaffe menoleh kearah mereka
“Kenapa loe sedari tadi merhatiin gue?” todong Marsya langsung.
“Apa?”. Bukan berarti Devan tidak mendengar ucapan Marsya barusan. Ia hanya ingin memastikan bahwa pendengarannya tidak sedang bermasalah.
“Gue nanya kenapa loe sedari tadi merhatiin gue. Loe naksir ya?” ulang Marsya lagi.
“Nggak salah. Kenapa gue harus memperhatikan elo?" kesel Devan tidak terima di tuduh begitu.
“Nah justru karena gue nggak tau lah makanya gue nanya kenapa elo mem...”
“Gue nggak memperhatikan loe tuh,” potong Devan cepat.
“Sedari tadi menatap gue tanpa berkedip. Kalau bukan memperhatikan lantas apa donk namanya?”
“Memang nya siapa yang bilang gue mandangin elo?” bantah Devan. “Dia?” tunjuknya kearah Angela dengan nada meledek.
“Hanya karena gue kebetulan bersitatap sama dia loe langsung keGeEran. Mengira kalau gue memperhatikan elo. Eh denger ya, gue tadi cuma....”
“Angela nggak ngomong apa – apa. Tapi gue tau karena gue ngelihat sediri."
“Jangan ngarang. Sedari tadi gue perhatiin loe sama sekali nggak pernah menoleh kearah gue. Malah gue ragu loe tau gue ada disini,” bantahan Devan barusan tak uruang membuat Marsya tersenyum. Sedangkan Angela tidak mampu menahan tawanya. Sementara Devan sendiri hanya mampu merutuki dalam hati. Ini si bukan membantah, tapi jelas – jelas dia ngaku.
“Gue memang nggak mandang elo langsung. Tapi gue liat nya dari sana,” tunjuk Marsya kearah depan. Kening Devan berkerut melihatnya namun beberpa saat kemudian barulah ia menyadari maksut ucapan Marsya. Dasar bodoh, Kaffe itu kan memang di kelilingi kaca dan dari tempat Marsya tadi duduk kebetulan memang tempat yang paling strategis untuk memperhatikannya tanpa di ketahui.
“Ehem, kalau gitu sudah jelaskan kalau sebenernya yang sibuk mencuri pandang diam – diam itu elo?” serang Devan balik. Membuat mulut Angela yang sedari tadi hanya menonton mangap. Ni cowok satu udah ketangkep basah masih juga nggak mau ngaku.
“Gue akuin,” balas Marsya cuek.
“Terus maksutnya apa?” tanya Devan lagi.
“Gue suka sama loe?”
“Ha?” bukan cuma Devan yang kaget, tapi juga Angela dan seluruh pengunjung kaffe yang ikut menyaksikan. Ada gitu cewek model ginian?
“Karena itu, kita jadian yuk,” ajak Marsya dengan polosnya.
Untuk sejenak suasana hening, sepi. Devan masih terdiam. Sementara pengunjung yang lain juga ikut terdiam sembari menunggu jawaban yang keluar dari mulut pria itu. Sampai selang beberapa saat kemudian, terdengarlah alunan lagu dari radio pemilik kaffe. Sebuah lagu yang sepertinya pas banget dengan sitkon mereka saat ini. “Yuk kita jadian” miliknya Melly goeslow yang perlahan mengiringi.
Anak kecil main mobil, mobil mobilan
Maen motor juga paling motor – motoran
Jatuh cinta juga paling cinta – cintaan
Belum beneran
Kita yang sudah besar harusnya serius
Jatuh cinta juga harus cinta beneran
Kau pernah tertangkap basah sedang menatapku
Tanpa berkedip.
Kalau cinta sebaiknya di ucap
Belum tentu kau masih punya hari esok
Banyak gengsi banyak mikir kelamaan
Yuk kita jadian
Di depanku kau pura-pura dingin
namun matamu tak mungkin bisa berdusta
sampai nanti kau tak mungkin ngaku
biarlah aku yang mulai
Mobil ku bukan mobil mobilan
Motor ku bukan motoran
Cintaku bukan cinta cintaan
Tiada yang palsu
Yuk kita jadian.
Ending
Detail Cerpen
- Judul cerpen : I Like You
- Penulis : Ana Merya
- Penulis : Ana Merya
- Twitter : @ana_merya
- Instagram : @anamerya
- Status : Oneshot, Rewrite
- Genre : Remaja
- Words : 1.917 Kata
I like you.... Next jadi I Love You... Hehehe
ReplyDeleteIde bagus...
DeleteNgarepnya emang gitu... #Ekh
duh jadi inget masa abg kalau suka sukaan, seru ..lanjutannya dong. penasaran
ReplyDeleteEmang sekarang udah bukan ABG lagi ya.
DeleteKetauan don kalau sekarang sudah tu... #sebagiantekshilang
udah lama aku ngga nulis cerpen, pengen nulis ah :D
ReplyDeleteAyoooo... Nulis lagi.
DeleteAna suka juga baca karyanya.
Walau seringnya jadi silent reader sih. #ekh
nice short story ya.... kisah remaja yang memang selalu berputar tentang tema cinta
ReplyDeleteMaklum, adminya emang masih remaja.
Delete#klotak #fitnahmodeon
Kece ceritanya :)
ReplyDeleteIya tah?
DeleteArigatou gozaimasu...
Trus mereka jadian gak?
ReplyDeleteNggak tau juga.
DeleteKeburu ending sih... #laaaaahhhh
ini cerita pribadi ya di angkat jadi cerpen. ketceh ceritanya
ReplyDeleteIsh, nggak gitu jugaaaaaa.....
DeleteOverall, thank you....
Open ending.. Selalu bikin nambah penasaran! Menurut saya sih Devan terima dan mereka jadian ;)
ReplyDeleteCieeee...
DeleteMasa sih? Tau aja,
Padahal 'cupid' nya keburu kabur lhooo...
Endingnya nanggung haha.
ReplyDeleteKan sengaja Teh, Biar imajinasi pembacanya sendiri yang berkelana sendirian... #XD
DeleteDiterima ga ya???
ReplyDeleteMaunya gimana?
DeleteDi terima atau enggak?
Dulu saya juga sering nulis cerpen ka, tapi sejak nge blog jadi gak concern lagi. Etapi ini gak cerita ana kan??
ReplyDeleteKenapa kak Yulia Marza?
DeleteKan punya blog harunya malah lanjut....
Emp, cerita saia? No coment aja deh...
Suka baca cerpen online gini. Gratis aksesnya. Terus berkarya mba :D
ReplyDeleteCieeee, penikmat gratisan.
DeleteCk, sama! Toss kita...
endingnya kak...
ReplyDeleteKenapa?
DeleteGantung ya? Persis nih kayak mantan gebetan.
Pedekate mulu, di tembak enggak. #malahcurhat
Langsung browsing lagunya :D
ReplyDeleteMonggo.
DeleteLagian kalau mbak Dian Radiata mah, nggak mungkin jadi baper juga dengerin lagunya. :D
waw, cerpennya menarik. tinggal dirapiin aja nih. lain kali kirim ke media, jangan dulu diposting di blog hehe
ReplyDeleteIya sih, emang masih rada berantakan. Padahal udah mulai di rapiin juga dari sebelumnya.
DeleteNgomong ngomong soal media, lebih nyaman nulis di blog sih. :D