Cerpen romantis "Inikah Rasanya Cinta" ~ 01 / 06
Tara, akhirnya cerpen baru bisa muncul juga. Judulnya inikah rasanya cinta. Hanya saja, kali ini tokohnya adalah versi manusia nyata (???). Maksutnya admin sengaja nyomot nama temen temen gitu. Bahkan adminnya ikutan eksis. Wukakakak, buat yang belum tau, cerpen - cerpen sebelumnya juga ada beberapa yang sudah di edit kok. Sekalian ngerapiin typo plus EYD. Gimana? penasaran sama jalan ceritanya? Simak langsung ya guys...
Dan ketika cinta datang, kamu tidak akan pernah bisa mengabaikannya
"Satu, dua, tiga.... sepuluh," tepat hitungan ke sepuluh Irma membuka matanya. Ditariknya nafas dalam dalam baru kemudian di hembuskan perlahan. Kemudian secara perlahan kakinya melangkah masuk mengikuti pria separuh baya yang sudah terlebih dahulu masuk kedalam ruangan yang penuh dengan siswa berseragam putih abu - abu. Ya, hari ini adalah hari pertama ia masuk sekolah SMA barunya setelah secara resmi kemaren siang orang tuanya mendaftarkanya di sekolah tersebut.
Sambil tetap menatap kedepan, Irma terus melangkah. Pria separuh baya yang tadi mengantarnya yang di ketahui sebagai guru BP di sekolah tersebut bersiap untuk kembali ke ruang kerjanya. Sebelum benar - benar berlalu, tak lupa pria tersebut melemparkan senyum simpul kearah Irma. Senyum yang membantu gadis itu meredakan rasa gugupnya. Senyum yang menenangkan, dan detik itu juga Irma sudah memutuskan kalau guru BP di sekolahnya adalah orang yang menyenangkan.
"Baiklah anak anak. Mohon perhatiannya sebentar. Hari ini kalian kedatangan teman baru. Baik, siapa namamu. Silahkan, bisa langsung memperkenalkan diri," kata sang ibu guru yang sudah berada di kelas tersebut sejak awal kearah Irma. Lagi - lagi di sertai senyum yang menenangkan. Membuat Irma ikut tersenyum dan merasa lebih rileks.
"Perkenalkan, namaku Irma Octa Swifties. Murid pindahan baru dari Pomalaa, Sulawesi. Senang bisa pindah kesini," kata Irma sembari menatap kehadapan, berusaha untuk melemparkan tatapan bersahabat kepada semuanya. Dan gadis itu segera menyadari kalau hampir semuanya yang berada di dalam kelas menatap kearah dirinya. Namun, karena kalimatnya adalah 'hampir' maka itu berarti tidak semua. Karena dengan jelas, mata Irma terhenti kearah penghuni bangku di pojok ruangan. Cowok dengan potongan rambutnya yang di sisir berdiri sedang asik dengan bacaan dihadapanya. Tak menatapnya sama sekali. Entah karena ia keasikan membaca buku, atau memang kehadiranya sama sekali tidak menarik perhatian. Entahlah, Irma merasa ia bukanlah tipe orang yang bisa menebak kepribadian seseorang.
Kelas yang sebelumnya hening, kini mulai terdengar suara bisikan - bisikan lirih tentang teman baru mereka.
"Asik, temen baru, semoga senang ada disini," kata cowok yang duduk tepat di hadapan Irma.
"Cantik lagi, udah punya pacar belum?"
Pertanyaan dari salah satu siswa yang lain sontak disambut suara riuh oleh seisi kelas. Irma hanya menoleh kesumber suara sambil tersenyum kaku. Merasa sedikit malu sekaligus takjub. Keberanian siswa tersebut mengodanya di hadapan guru beneran pantas di acungin jempol.
"Sudah sudah, perkenalan selanjutnya nanti saja. Sekarang mari kita lanjutkan lagi pelajaran kita, dan kamu boleh duduk di...," Guru tersebut mengedarkan pandanganya kesekeliling, "Disana," tunjuknya kearah bangku kosong di deket pojok kelas. Lumayan di belakang dan itu bisa di maklumi. Sangat aneh bukan jika ada kelas yang justru bangku kosongnya ada di depan. Setelah mengangguk, Irma melangkah kearah bangku yang di maksut.
Begitu duduk di bangkunya, dengan diam - diam Irma menoleh tepat pada sosok yang menghuni bangku disampingnya. Cowok yang berhasil menarik perhatianya. Bukan karena kehebohanya tapi justru karena sikap acuhnya. Sejak awal, Irma menyadari kalau pria itu sama sekali tidak menoleh kearah dirinya. Membuatnya merasa penasaran. Ingin menyapa tapi urung, takut mendapatkan tanggapan yang tidak semestinya. Lagi pula saat ini guru nya sudah kembali menjelaskan pelajaran, membuat Irma mau tak mau mengikuti alurnya. Menatap kedepan. Tapi sekali lagi, Irma sekilas menoleh kesamping. Hanya untuk memastikan bacaan apa yang lebih menarik dari pada melihat kemunculan dirinya. Dan gadis itu hanya mampu mengerutkan keningnya ketika melihat angka yang tertera pada buku yang di buka di hadapanya. Heran karena itu buku matematika, dan lebih heran lagi, karena gurunya jelas jelas sedang menjelaskan tentang kewarganegaraan. Kesimpulan yang berhasil Irma kumpulkan adalah, ada yang salah dengan penghuni disamping tempat duduknya.
Begitu bel ganti pelajaran terdengar, Irma segera menutup bukunya. Kepalanya menoleh kesamping. Tidak sopan bukan kalau ia tidak memperkenalkan dirinya. Karena ia siswa pendatang sudah sewajarnya kalau ia yang duluan. Tapi lagi - lagi gadis itu urung, entah sejak kapan dua buah headset kini terpasang di telinganya. Membuat Irma terpaksa bungkam.
"Jadi nama loe Irma, kenalin nama gue Vhany."
Kepala Irma langsung menatap kedepan. Kearah gadis yang duduk tepat di hadapan yang kini sedang tersenyum sambil mengulurkan tanganya. Tanpa pikir panjang, gadis itu segera membalas uluran tangan itu sembari menyebutkan namanya.
"Kalau gue Ana. Lengkapnya Ana merya. Yah semoga loe seneng pindah kesini ya dan kita bisa jadi temen deket," perhatian Irma beralih kesamping kirinya. Kearah gadis yang baru saja menyapanya. Lagi lagi Irma membalas uluran tangan tersebut. Dan sebelum siswa yang lain ikutan, guru yang akan menigisi jam pelajaran selanjutnya muncul diambang pintu.
"Eh, loe itu orangnya pendiam ya?" ujar Ana begitu bel istirahat pertama terdengar. Irma menolehkan kepalanya kekiri, tepat kearah Ana yang kini menarik kursinya mendekat kearah dirinya. Membuat Irma hanya mampu tersenyum sambil mengeleng. Dia? Pendiam? Yang benar saja. Kesan itu hanya cocok di berikan pada dirinya oleh orang yang baru kenal. Usil, jahil, demen ngegosip, dan bercanda adalah hobynya. Tapi tetap, itu hanya bisa di lakukan pada orang yang sudah saling kenal. Bukan berarti ia harus menujukkanya sejak awal bukan?
"Nggak juga kok. Kan ini hari pertama. Masa gue tiba - tiba treak treak, yang ada semua malah pada curiga jangan - jangan gue kenapa - kenapa," balas Irma yang di sambut tawa.
"Ya udah, mumpung istirahat kita kekantin yuk. Sekalian ntar kita kenalin sama temen temen yang lainnya. Ayo Vhany," ajak Ana sambil mengandeng tanganya dan mengajaknya keluar. Irma sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menolak. Kesan pertama yang gadis itu dapatkan adalah, Ana sepertinya adalah tipe orang yang seenaknya (???). Namun entah kenapa, disaat yang sama Irma juga merasa kalau gadis itu adalah orang yang menyenangkan. Setidaknya, itu bisa membantunya untuk bisa cepat beradaptasi dengan sekitar bukan?
Sebelum Irma benar benar meninggalkan kelas, gadis itu sekali lagi memalingkan wajah kearah rekan sebangkunya. Sama seperti sebelumnya, pria itu sama sekali tidak ada respon. Bukan berarti Irma mengharapkan perhatian darinya, hanya saja ia terlihat berbeda dari teman - teman yang lainnya. Entah dapat dorongan dari mana, Irma merasa pria itu menarik. Menarik dalam artian sosok yang bisa menjadi tokoh dalam cerita karanganya.
Begitu sampai di kantin, langkah Vhany dan Ana langsung tertuju kearah pojokan. Disana sudah ada dua orang siswa lain yang duduk sambil mengobrol bersama. Merasa tak ada pilihan, Irma hanya diam mengekori.
"Ayo Irma sini, kenalan sama temen temen gue. Yang ini Vieta, anak kelas sebelah. Kalau yang satunya Jeny, dan dia anaknya agak lemot," ujar Ana memperkenalkan Irma pada teman - temannya.
"Tunggu dulu. Emangya siapa yang lemot," ujar cewek yang bernama Jeny terlihat sewot.
"Tentu saja elo," jawaban koor dengan telunjuk lurus kearah Jeny oleh Vhany, Ana dan Vieta hanya mampu membuat Irma bengong. Walau ia tidak tau apakah Jeny beneran lemot, tapi ia menduga sepertinya memang begitu.
"Enak aja. Gue itu bukan lemot, cuma kebetulan aja mikirnya suka agak lamaan," Jeny masih berusaha untuk membela diri.
"Itu mah sama aja kaleeee," kata Ana yang disambut tawa oleh teman - temannya. Bahkan Irma ikut tertawa. Bukan merasa lucu karena ledekan Ana, tapi lebih kepada ekpresi muka memelas Jeny yang duduk dihadapanya. Gadis itu benar - benar terlihat imut.
"Hallo Ana."
Tawa semuanya langsung terhenti dan secara serentak bagai di komando menatap ke sumber suara walau jelas yang di sapa hanyalah Ana. Untuk sejenak Irma terdiam. Dalam hati ia segera memeberikan penilaian. Tinggi? Oke. Tampang? Diatas rata - rata. Kulit? Lumayan terang. Jenis kelamin cowok. Dan dia pake kacamata.
"Cie cie cie, cuma Ana doank yang disapa. Kitanya enggak," komentar Vhany membuyarkan isi kepala Irma yang sedang asik melakukan penilayan.
"Eh, sory. Lupa. Hallo Vhany, Hallo Vieta, Hallo Jeny dan hallo...," tatapan pria itu bersitatap dengan Irma. Keduanya pun sama sama terdiam.
"Kenalin kak Arsyil, Dia Irma, temen baru di kelas kita," seolah bisa membaca situasi Ana segera memperkenalkan sahabatnya.
"Oh iya. Kenalin, gue Arsyil dan gue..."
"Pacarnya Ana," lagi lagi Vhany, Jeny dan Vieta kompakan menjawab. Membuat Irma langsung menyimpulkan kalau mereka semua pastilah genk yang sudah begitu akrab.
"Apaan sih, gue kan jadi malu," kata Ana dengan wajah bersemu merah, yang lain hanya mencie cie in.
"Ya sudah deh, kalian mau makan kan. Silahkan lanjutkan. Gue cuma nyapa doank. Kalau gitu gue duluan," pamit Arsyil sambil berlalu.
"Loe nggak makan atau ngajakin pacar loe makan bareng An?" tanya Irma heran.
"Dan jadiin kita sebagai obat nyamuk?" Vhany duluan menyambar. "Coba aja kalau dia berani," sambung gadis itu. Ana hanya tertawa, Vieta juga. Hanya Jeny yang mengerutkan kening bingung.
"Kenapa loe Jen?" tanya Vieta heran.
"Apa hubunganya Ana makan bareng pacarnya sama obat nyamuk?" tanya Jeny tak mengerti. Yang lain langsung tertawa, bahkan Irma juga. Astaga, gadis itu ternyata beneran polos kalau istilah 'lemot' diangap kasar.
"Oh ya Irma. Ngomong - ngomong loe udah punya pacar belum?" tanya Ana, dengan santai gadis itu menganti topik dan membiarkan Jeny kebingungan sendiri. Tak ingin berdusta, Irma mengeleng berlahan. Toh, ia memang nggak punya pacar. Tepatnya nggak pernah pacaran.
"Terus, udah pernah pacaran belum?" sambung gadis itu blak blakan. Irma bahkan tak menduga kalau ia akan di tanya begitu. Dan karena ia memang tidak suka berbohong, tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain mengeleng.
"Astaga, yang benar saja. Kita udah kelas dua SMA. Masa loe belum pernah pacaran. Padahal kan... Aduh," Ana menghentikan ucapanya sembari menjerit kesakitan. Itu tidak bercanda. Kakinya benar benar sakit karena di injak sepatu temannya. Ia tidak tau itu kaki siapa, tapi sepertinya itu ulah Vieta yang duduk tepat di hadapanya karena kini gadis itu sedang menatapnya tajam.
"Nggak papa kok. Gue emang belum pernah pacaran," sahut Irma maklum. Yang lain hanya saling pandang.
"Kalau naksir sama cowok?" kali ini Vhany yang bertanya dengan hati - hati.
"Udah donk. Sering malah. Tapi yang itu tadi, cuma naksir. Kita nggak pernah pacaran. Tepatnya gue nggak mau pacaran."
"Kenapa?" kali ini Vieta yang bertanya.
Irma tidak menjawab. Gadis itu lebih memilih angkat bahu sementara matanya sendiri lebih tertarik untuk mengamati kearah sosok yang baru masuk dari pintu kantin yang kini duduk didekat pintu. Selang dua meja dari dirinya. Sosok yang sejak pagi ini menjadi teman sebangkunya. Begitu memesan makananya pria itu kembali terdiam. Sekilas Irma mendapati kalau headset masih bertenger di kedua telinganya.
"Jangan di pelototoin gitu ntar loe naksir."
"Eh?" Irma menoleh. Tatapan Vhany langsung menyambutnya. Belum sempat gadis itu membantah, Ana sudah terlebih dahulu buka mulut.
"Namanya Rey. Lengkapnya Reyhan Sinatrya. Dia anak orang kaya. Papanya pengusaha apa gitu. Gue udah sekelas sama dia sejak SMP. Dulu sih dia nggak gitu. Anaknya baik, asik, pinter, cakep lagi. Terus juga pinter olah raga. Tapi sejak kedua orang tuanya bercerai, ya dia jadi gitu. Berubah 180 derajat. Jadi pediem, males, penyendiri dan suka asal asalan. Jujur, gue rada kasian sama nasip loe karena duduk sebangku sama dia," terang Ana tanpa di minta, Vhany hanya membalas dengan anggukan. Sementara Jeny dan Vieta bertahan sebagai pendengar.
"Jadi dia gitu karena perceraian kedua orang tuanya?" tanya Irma menegaskan.
Ana mengeleng. Takut Irma salah mengartikan gelenganya ia kembali menjelaskan. "Bukan cuma itu. Pas orang tuanya pisah, saat itu, ia juga di putusin sama pacarnya, adek kelas gue. Selain cantik, tu cewek juga pinter. Bahkan kita semua ngerasa mereka itu beneran pasangan serasi. Sejenis 'Romeo and Juliet' gitu. Apalagi kayaknya Rey juga tulus sayang sama dia. Eh tau taunya malah tu cewek selingkuh. Sama temen deketnya Rey lagi, John jilid satu. Dan dia...."
"Namanya beneran John jilidsatu?" tanya Irma menginterupsi.
"Iya. Kabarnya tu nama ada historinya. Nama John di ambil dari doa emaknya yang waktu masih dalam kandungan kalau sekiranya anaknya cowok. Katanya sih biar anaknya kelak ganteng kayak orang - orang eropa. Sedangkan 'jilidsatu' diambil dari hoby bokapnya yang demen baca buku. Tapi tu bokap sukanya buku yang jilidnya cuma satu doank. Terkesan agak aneh sih, tapi ya emang gitu lah. Tapi tunggu dulu, ini kenapa kita jadi ngomongin selingkuhannya ya?" Ana pasang pose bingung. Yang mendengarkan ikut mengeleng. Merasa heran juga dengan perpindahan topik yang semena - mena gitu. " Yah intinya, Rey berubah karena ceweknya selingkuh sama si John ini. Nah, sejak itu deh tu anak berubah. Bukan cuma menutup diri dari dunia luar, tapi juga hatinya. Padahal banyak lho cewek cewek yang suka sama dia."
"Kesian ya?" gumam Jeny ikutan nimbrung. Yang lain pada mengangguk.
"Iya, kesian. Miris banget," Irma ikut membenarkan. "Gue nggak bisa bayangin, anak SMP udah cinta - cintaan pake patah hati sampe segitunya. Itulah salah satu alasan kenapa gue nggak mau pacaran," sambung Irma lagi.
"HA...?" suara koor kembali terdengar disertai tatapan heran yang tertuju kearah Irma. Tak ada lagi yang bisa gadis itu lakukan selain membalas dengan tatapan sama herannya.
"Loe miris karena dia di selingkuhin atau loe miris karena dia SMP udah punya pacar?" Vieta yang pertama sekali menyuarakan isi kepalanya.
"Ya karena masih SMP udah pacaran lah," balas Irma tegas yang makin membuat orang - orang di hadapannya melongo. "Lagian namanya juga masih SMP. Anak ABG, cabe cabean. Ya wajar lah kalau masih gampang pindah kelain hati. Lah kan malah ribet kalau sampai cintanya mereka beneran. Bayangin aja, masih SMP. Terus lanjut ke SMA. Ya masih mending kalau pacarannya taraf wajar wajar aja. Jalan bareng, paling banter pegangan tangan. La nanti kalau malah kebablasan. Terus menjurus ke hal hal yang lebih dewasa, kan malah bahaya. Tanpa pengawasan orang tua lagi. Shh... gue nggak berani bayangin," tambah Irma sambil bergidik.
"Gue sekarang beneran percaya kalau loe nggak pernah pacaran," kata Vhany sambil mengangguk - angguk, Irma hanya mampu menatap heran. Ini yang lagi di omongin kasusnya Rey, kenapa jadi statusnya yang di bawa bawa.
"Miris," komentar koor Vhany, Vieta dan Ana sambil mengelengkan kepala membuat Irma semakin tidak mengerti. Matanya menatap kearah Jeny, seolah meminta penjelasan karena hanya gadis itu yang terdiam. Tapi ketika melihat sorot yang hampir sama seperti dirinya, Irma pasrah. Mungkinkah penyakit lemot itu bisa menular?
Next To Inikah Rasanya cinta Part 02
Detail Cerita
Inikah Rasanya Cinta |
Dan ketika cinta datang, kamu tidak akan pernah bisa mengabaikannya
"Satu, dua, tiga.... sepuluh," tepat hitungan ke sepuluh Irma membuka matanya. Ditariknya nafas dalam dalam baru kemudian di hembuskan perlahan. Kemudian secara perlahan kakinya melangkah masuk mengikuti pria separuh baya yang sudah terlebih dahulu masuk kedalam ruangan yang penuh dengan siswa berseragam putih abu - abu. Ya, hari ini adalah hari pertama ia masuk sekolah SMA barunya setelah secara resmi kemaren siang orang tuanya mendaftarkanya di sekolah tersebut.
Sambil tetap menatap kedepan, Irma terus melangkah. Pria separuh baya yang tadi mengantarnya yang di ketahui sebagai guru BP di sekolah tersebut bersiap untuk kembali ke ruang kerjanya. Sebelum benar - benar berlalu, tak lupa pria tersebut melemparkan senyum simpul kearah Irma. Senyum yang membantu gadis itu meredakan rasa gugupnya. Senyum yang menenangkan, dan detik itu juga Irma sudah memutuskan kalau guru BP di sekolahnya adalah orang yang menyenangkan.
"Baiklah anak anak. Mohon perhatiannya sebentar. Hari ini kalian kedatangan teman baru. Baik, siapa namamu. Silahkan, bisa langsung memperkenalkan diri," kata sang ibu guru yang sudah berada di kelas tersebut sejak awal kearah Irma. Lagi - lagi di sertai senyum yang menenangkan. Membuat Irma ikut tersenyum dan merasa lebih rileks.
"Perkenalkan, namaku Irma Octa Swifties. Murid pindahan baru dari Pomalaa, Sulawesi. Senang bisa pindah kesini," kata Irma sembari menatap kehadapan, berusaha untuk melemparkan tatapan bersahabat kepada semuanya. Dan gadis itu segera menyadari kalau hampir semuanya yang berada di dalam kelas menatap kearah dirinya. Namun, karena kalimatnya adalah 'hampir' maka itu berarti tidak semua. Karena dengan jelas, mata Irma terhenti kearah penghuni bangku di pojok ruangan. Cowok dengan potongan rambutnya yang di sisir berdiri sedang asik dengan bacaan dihadapanya. Tak menatapnya sama sekali. Entah karena ia keasikan membaca buku, atau memang kehadiranya sama sekali tidak menarik perhatian. Entahlah, Irma merasa ia bukanlah tipe orang yang bisa menebak kepribadian seseorang.
Kelas yang sebelumnya hening, kini mulai terdengar suara bisikan - bisikan lirih tentang teman baru mereka.
"Asik, temen baru, semoga senang ada disini," kata cowok yang duduk tepat di hadapan Irma.
"Cantik lagi, udah punya pacar belum?"
Pertanyaan dari salah satu siswa yang lain sontak disambut suara riuh oleh seisi kelas. Irma hanya menoleh kesumber suara sambil tersenyum kaku. Merasa sedikit malu sekaligus takjub. Keberanian siswa tersebut mengodanya di hadapan guru beneran pantas di acungin jempol.
"Sudah sudah, perkenalan selanjutnya nanti saja. Sekarang mari kita lanjutkan lagi pelajaran kita, dan kamu boleh duduk di...," Guru tersebut mengedarkan pandanganya kesekeliling, "Disana," tunjuknya kearah bangku kosong di deket pojok kelas. Lumayan di belakang dan itu bisa di maklumi. Sangat aneh bukan jika ada kelas yang justru bangku kosongnya ada di depan. Setelah mengangguk, Irma melangkah kearah bangku yang di maksut.
Begitu duduk di bangkunya, dengan diam - diam Irma menoleh tepat pada sosok yang menghuni bangku disampingnya. Cowok yang berhasil menarik perhatianya. Bukan karena kehebohanya tapi justru karena sikap acuhnya. Sejak awal, Irma menyadari kalau pria itu sama sekali tidak menoleh kearah dirinya. Membuatnya merasa penasaran. Ingin menyapa tapi urung, takut mendapatkan tanggapan yang tidak semestinya. Lagi pula saat ini guru nya sudah kembali menjelaskan pelajaran, membuat Irma mau tak mau mengikuti alurnya. Menatap kedepan. Tapi sekali lagi, Irma sekilas menoleh kesamping. Hanya untuk memastikan bacaan apa yang lebih menarik dari pada melihat kemunculan dirinya. Dan gadis itu hanya mampu mengerutkan keningnya ketika melihat angka yang tertera pada buku yang di buka di hadapanya. Heran karena itu buku matematika, dan lebih heran lagi, karena gurunya jelas jelas sedang menjelaskan tentang kewarganegaraan. Kesimpulan yang berhasil Irma kumpulkan adalah, ada yang salah dengan penghuni disamping tempat duduknya.
Begitu bel ganti pelajaran terdengar, Irma segera menutup bukunya. Kepalanya menoleh kesamping. Tidak sopan bukan kalau ia tidak memperkenalkan dirinya. Karena ia siswa pendatang sudah sewajarnya kalau ia yang duluan. Tapi lagi - lagi gadis itu urung, entah sejak kapan dua buah headset kini terpasang di telinganya. Membuat Irma terpaksa bungkam.
"Jadi nama loe Irma, kenalin nama gue Vhany."
Kepala Irma langsung menatap kedepan. Kearah gadis yang duduk tepat di hadapan yang kini sedang tersenyum sambil mengulurkan tanganya. Tanpa pikir panjang, gadis itu segera membalas uluran tangan itu sembari menyebutkan namanya.
"Kalau gue Ana. Lengkapnya Ana merya. Yah semoga loe seneng pindah kesini ya dan kita bisa jadi temen deket," perhatian Irma beralih kesamping kirinya. Kearah gadis yang baru saja menyapanya. Lagi lagi Irma membalas uluran tangan tersebut. Dan sebelum siswa yang lain ikutan, guru yang akan menigisi jam pelajaran selanjutnya muncul diambang pintu.
"Eh, loe itu orangnya pendiam ya?" ujar Ana begitu bel istirahat pertama terdengar. Irma menolehkan kepalanya kekiri, tepat kearah Ana yang kini menarik kursinya mendekat kearah dirinya. Membuat Irma hanya mampu tersenyum sambil mengeleng. Dia? Pendiam? Yang benar saja. Kesan itu hanya cocok di berikan pada dirinya oleh orang yang baru kenal. Usil, jahil, demen ngegosip, dan bercanda adalah hobynya. Tapi tetap, itu hanya bisa di lakukan pada orang yang sudah saling kenal. Bukan berarti ia harus menujukkanya sejak awal bukan?
"Nggak juga kok. Kan ini hari pertama. Masa gue tiba - tiba treak treak, yang ada semua malah pada curiga jangan - jangan gue kenapa - kenapa," balas Irma yang di sambut tawa.
"Ya udah, mumpung istirahat kita kekantin yuk. Sekalian ntar kita kenalin sama temen temen yang lainnya. Ayo Vhany," ajak Ana sambil mengandeng tanganya dan mengajaknya keluar. Irma sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menolak. Kesan pertama yang gadis itu dapatkan adalah, Ana sepertinya adalah tipe orang yang seenaknya (???). Namun entah kenapa, disaat yang sama Irma juga merasa kalau gadis itu adalah orang yang menyenangkan. Setidaknya, itu bisa membantunya untuk bisa cepat beradaptasi dengan sekitar bukan?
Sebelum Irma benar benar meninggalkan kelas, gadis itu sekali lagi memalingkan wajah kearah rekan sebangkunya. Sama seperti sebelumnya, pria itu sama sekali tidak ada respon. Bukan berarti Irma mengharapkan perhatian darinya, hanya saja ia terlihat berbeda dari teman - teman yang lainnya. Entah dapat dorongan dari mana, Irma merasa pria itu menarik. Menarik dalam artian sosok yang bisa menjadi tokoh dalam cerita karanganya.
Begitu sampai di kantin, langkah Vhany dan Ana langsung tertuju kearah pojokan. Disana sudah ada dua orang siswa lain yang duduk sambil mengobrol bersama. Merasa tak ada pilihan, Irma hanya diam mengekori.
"Ayo Irma sini, kenalan sama temen temen gue. Yang ini Vieta, anak kelas sebelah. Kalau yang satunya Jeny, dan dia anaknya agak lemot," ujar Ana memperkenalkan Irma pada teman - temannya.
"Tunggu dulu. Emangya siapa yang lemot," ujar cewek yang bernama Jeny terlihat sewot.
"Tentu saja elo," jawaban koor dengan telunjuk lurus kearah Jeny oleh Vhany, Ana dan Vieta hanya mampu membuat Irma bengong. Walau ia tidak tau apakah Jeny beneran lemot, tapi ia menduga sepertinya memang begitu.
"Enak aja. Gue itu bukan lemot, cuma kebetulan aja mikirnya suka agak lamaan," Jeny masih berusaha untuk membela diri.
"Itu mah sama aja kaleeee," kata Ana yang disambut tawa oleh teman - temannya. Bahkan Irma ikut tertawa. Bukan merasa lucu karena ledekan Ana, tapi lebih kepada ekpresi muka memelas Jeny yang duduk dihadapanya. Gadis itu benar - benar terlihat imut.
"Hallo Ana."
Tawa semuanya langsung terhenti dan secara serentak bagai di komando menatap ke sumber suara walau jelas yang di sapa hanyalah Ana. Untuk sejenak Irma terdiam. Dalam hati ia segera memeberikan penilaian. Tinggi? Oke. Tampang? Diatas rata - rata. Kulit? Lumayan terang. Jenis kelamin cowok. Dan dia pake kacamata.
"Cie cie cie, cuma Ana doank yang disapa. Kitanya enggak," komentar Vhany membuyarkan isi kepala Irma yang sedang asik melakukan penilayan.
"Eh, sory. Lupa. Hallo Vhany, Hallo Vieta, Hallo Jeny dan hallo...," tatapan pria itu bersitatap dengan Irma. Keduanya pun sama sama terdiam.
"Kenalin kak Arsyil, Dia Irma, temen baru di kelas kita," seolah bisa membaca situasi Ana segera memperkenalkan sahabatnya.
"Oh iya. Kenalin, gue Arsyil dan gue..."
"Pacarnya Ana," lagi lagi Vhany, Jeny dan Vieta kompakan menjawab. Membuat Irma langsung menyimpulkan kalau mereka semua pastilah genk yang sudah begitu akrab.
"Apaan sih, gue kan jadi malu," kata Ana dengan wajah bersemu merah, yang lain hanya mencie cie in.
"Ya sudah deh, kalian mau makan kan. Silahkan lanjutkan. Gue cuma nyapa doank. Kalau gitu gue duluan," pamit Arsyil sambil berlalu.
"Loe nggak makan atau ngajakin pacar loe makan bareng An?" tanya Irma heran.
"Dan jadiin kita sebagai obat nyamuk?" Vhany duluan menyambar. "Coba aja kalau dia berani," sambung gadis itu. Ana hanya tertawa, Vieta juga. Hanya Jeny yang mengerutkan kening bingung.
"Kenapa loe Jen?" tanya Vieta heran.
"Apa hubunganya Ana makan bareng pacarnya sama obat nyamuk?" tanya Jeny tak mengerti. Yang lain langsung tertawa, bahkan Irma juga. Astaga, gadis itu ternyata beneran polos kalau istilah 'lemot' diangap kasar.
"Oh ya Irma. Ngomong - ngomong loe udah punya pacar belum?" tanya Ana, dengan santai gadis itu menganti topik dan membiarkan Jeny kebingungan sendiri. Tak ingin berdusta, Irma mengeleng berlahan. Toh, ia memang nggak punya pacar. Tepatnya nggak pernah pacaran.
"Terus, udah pernah pacaran belum?" sambung gadis itu blak blakan. Irma bahkan tak menduga kalau ia akan di tanya begitu. Dan karena ia memang tidak suka berbohong, tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain mengeleng.
"Astaga, yang benar saja. Kita udah kelas dua SMA. Masa loe belum pernah pacaran. Padahal kan... Aduh," Ana menghentikan ucapanya sembari menjerit kesakitan. Itu tidak bercanda. Kakinya benar benar sakit karena di injak sepatu temannya. Ia tidak tau itu kaki siapa, tapi sepertinya itu ulah Vieta yang duduk tepat di hadapanya karena kini gadis itu sedang menatapnya tajam.
"Nggak papa kok. Gue emang belum pernah pacaran," sahut Irma maklum. Yang lain hanya saling pandang.
"Kalau naksir sama cowok?" kali ini Vhany yang bertanya dengan hati - hati.
"Udah donk. Sering malah. Tapi yang itu tadi, cuma naksir. Kita nggak pernah pacaran. Tepatnya gue nggak mau pacaran."
"Kenapa?" kali ini Vieta yang bertanya.
Irma tidak menjawab. Gadis itu lebih memilih angkat bahu sementara matanya sendiri lebih tertarik untuk mengamati kearah sosok yang baru masuk dari pintu kantin yang kini duduk didekat pintu. Selang dua meja dari dirinya. Sosok yang sejak pagi ini menjadi teman sebangkunya. Begitu memesan makananya pria itu kembali terdiam. Sekilas Irma mendapati kalau headset masih bertenger di kedua telinganya.
"Jangan di pelototoin gitu ntar loe naksir."
"Eh?" Irma menoleh. Tatapan Vhany langsung menyambutnya. Belum sempat gadis itu membantah, Ana sudah terlebih dahulu buka mulut.
"Namanya Rey. Lengkapnya Reyhan Sinatrya. Dia anak orang kaya. Papanya pengusaha apa gitu. Gue udah sekelas sama dia sejak SMP. Dulu sih dia nggak gitu. Anaknya baik, asik, pinter, cakep lagi. Terus juga pinter olah raga. Tapi sejak kedua orang tuanya bercerai, ya dia jadi gitu. Berubah 180 derajat. Jadi pediem, males, penyendiri dan suka asal asalan. Jujur, gue rada kasian sama nasip loe karena duduk sebangku sama dia," terang Ana tanpa di minta, Vhany hanya membalas dengan anggukan. Sementara Jeny dan Vieta bertahan sebagai pendengar.
"Jadi dia gitu karena perceraian kedua orang tuanya?" tanya Irma menegaskan.
Ana mengeleng. Takut Irma salah mengartikan gelenganya ia kembali menjelaskan. "Bukan cuma itu. Pas orang tuanya pisah, saat itu, ia juga di putusin sama pacarnya, adek kelas gue. Selain cantik, tu cewek juga pinter. Bahkan kita semua ngerasa mereka itu beneran pasangan serasi. Sejenis 'Romeo and Juliet' gitu. Apalagi kayaknya Rey juga tulus sayang sama dia. Eh tau taunya malah tu cewek selingkuh. Sama temen deketnya Rey lagi, John jilid satu. Dan dia...."
"Namanya beneran John jilidsatu?" tanya Irma menginterupsi.
"Iya. Kabarnya tu nama ada historinya. Nama John di ambil dari doa emaknya yang waktu masih dalam kandungan kalau sekiranya anaknya cowok. Katanya sih biar anaknya kelak ganteng kayak orang - orang eropa. Sedangkan 'jilidsatu' diambil dari hoby bokapnya yang demen baca buku. Tapi tu bokap sukanya buku yang jilidnya cuma satu doank. Terkesan agak aneh sih, tapi ya emang gitu lah. Tapi tunggu dulu, ini kenapa kita jadi ngomongin selingkuhannya ya?" Ana pasang pose bingung. Yang mendengarkan ikut mengeleng. Merasa heran juga dengan perpindahan topik yang semena - mena gitu. " Yah intinya, Rey berubah karena ceweknya selingkuh sama si John ini. Nah, sejak itu deh tu anak berubah. Bukan cuma menutup diri dari dunia luar, tapi juga hatinya. Padahal banyak lho cewek cewek yang suka sama dia."
"Kesian ya?" gumam Jeny ikutan nimbrung. Yang lain pada mengangguk.
"Iya, kesian. Miris banget," Irma ikut membenarkan. "Gue nggak bisa bayangin, anak SMP udah cinta - cintaan pake patah hati sampe segitunya. Itulah salah satu alasan kenapa gue nggak mau pacaran," sambung Irma lagi.
"HA...?" suara koor kembali terdengar disertai tatapan heran yang tertuju kearah Irma. Tak ada lagi yang bisa gadis itu lakukan selain membalas dengan tatapan sama herannya.
"Loe miris karena dia di selingkuhin atau loe miris karena dia SMP udah punya pacar?" Vieta yang pertama sekali menyuarakan isi kepalanya.
"Ya karena masih SMP udah pacaran lah," balas Irma tegas yang makin membuat orang - orang di hadapannya melongo. "Lagian namanya juga masih SMP. Anak ABG, cabe cabean. Ya wajar lah kalau masih gampang pindah kelain hati. Lah kan malah ribet kalau sampai cintanya mereka beneran. Bayangin aja, masih SMP. Terus lanjut ke SMA. Ya masih mending kalau pacarannya taraf wajar wajar aja. Jalan bareng, paling banter pegangan tangan. La nanti kalau malah kebablasan. Terus menjurus ke hal hal yang lebih dewasa, kan malah bahaya. Tanpa pengawasan orang tua lagi. Shh... gue nggak berani bayangin," tambah Irma sambil bergidik.
"Gue sekarang beneran percaya kalau loe nggak pernah pacaran," kata Vhany sambil mengangguk - angguk, Irma hanya mampu menatap heran. Ini yang lagi di omongin kasusnya Rey, kenapa jadi statusnya yang di bawa bawa.
"Miris," komentar koor Vhany, Vieta dan Ana sambil mengelengkan kepala membuat Irma semakin tidak mengerti. Matanya menatap kearah Jeny, seolah meminta penjelasan karena hanya gadis itu yang terdiam. Tapi ketika melihat sorot yang hampir sama seperti dirinya, Irma pasrah. Mungkinkah penyakit lemot itu bisa menular?
Next To Inikah Rasanya cinta Part 02
Detail Cerita
- Judul cerita : Inikah Rasanya cinta
- Nama Penulis : Ana Merya
- Part : 01 / 06
- Status : Finish
- Ide cerita : Jatuh cinta alias kasmaran #krik #krik. Eh enggak dink. Bohong. Yang bener ntu cuma ide ngasal aja.
- Panjang cerita : 2. 136 kata
- Genre : Remaja
Bagus ya ceritanya
ReplyDeleteBagus ya ceritanya
ReplyDeletesip
ReplyDelete