Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 09
Berharap kalau satu part kedepannya lagi ni cerpen satu bisa nemu sama yang namanya end. Secara cerpen {Bukan} sahabat jadi cinta ini kan niat awal sebenernya cuma mau di jadiin cerpen satu part yang langsung end. Eh, nggak taunya malah molor kemana – mana. Ck ck ck. Nah, biar nyambung sama cerita kelanjutannya ini, mendingan baca dulu part sebelumnya disini. Happy reading…..
“Ishida?” gumam Arumy lirih membuat Arsyil mengernyit. Jangan bilang kalau Ishida ada disini. Tapi ketika melihat raut terpaku yang tergambar di wajah Arumy yang sama sekali tidak mengalihkan tatapannya, dengan ragu Arsyil berbalik. Dan Arsyil langsung membulatkan mata melihat apa yang ada di hadapannya.
“Itu beneran Ishida kan?” kata Arumy lagi.
Saat itu tatapannya memang mengarah lurus kearah kejauhan. Selang beberapa meter jauh darinya tampak sosok yang ia kenali sebagai sahabatnya sedang berbicara akrab sambil tertawa lepas dengan seseorang di sampingnya. Arumy tidak bisa melihat dengan jelas, karena pria itu menghadap kearah yang berlawanan. Terlebih ia mengenakan topi.
“Kayaknya sih itu beneran Ishida. Tapi dia bareng siapa? Kakaknya?” Arsyil ikutan bergumam sambil terus mengamati dari kejauhan.
“Kayaknya bukan deh,” Arumy mengeleng. Tepat pada saat yang bersamaan orang tersebut berbalik sehingga Arumy bisa melihat wajahnya. “Reihan?”
“Reihan? Siapa? Loe kenal dia?” tanya Arsyil sambil berbalik menghadap Arumy.
“Kenal deket si enggak. Tapi kayaknya gue tau. Cuma elo inget nggak, waktu pertandingan persahabatan di sekolah waktu itu. Yang lawan sama anak SMA PEMDA?”
Walau tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini akan di bawa, tak urung Arsyil mengangguk membenarkan.
“Nah, coba loe perhatiin deh. Loe merasa kenal wajahnya nggak? Soalnya waktu itu dia ikutan main lawan kalian.”
Arsyil kembali mengalihkan tatapannya kearah kedua orang yang tidak menyadari kalau ada mata yang mengawasi. Keduanya malah terlihat asik menikmati Ice Cream sambil sibuk mengobrol. Entah apa yang sedang mereka obrolkan. Hanya saja keduanya tampak sedang berbahagia, terlebih dengan tawa yang selalu lepas dari bibir Ishdia. Melihat hal itu, entah datangnya dari mana Arsyil merasa sesak didadanya. Sebagai catatan, sama sekali tidak ada gejala Asma dalam keluarganya.
“Gue lupa. Tapi kalau seandainya itu memang bener, gimana loe dan Ishida bisa kenal sama dia?”
“Gue kenal karena Ishida yang ngenalin. Dia bilang Reihan itu temen les nya dia?”
“Les?” Arsyil terlihat makin bingung.
“Iya,” angguk Arumy. “Jadi beberapa waktu yang lalu Ishida bilang kalau dia ikutan les bahasa inggris.”
“Akh, kayaknya gue inget. Kalau nggak salah waktu itu kalian ngobrolnya waktu habis pertandingan kan?” kata Arsyil setelah beberapa saat sempat terdiam.
Arumy hanya mengangguk membenarkan.
“Kalau itu hubungan mereka berdua sejauh apa?”
“Sory, tapi untuk pertanyaan yang satu ini kayaknya gue juga nggak tau jawabannya,” sahut Arumy dengan raut menyesal.
Arsyil terdiam. Pria itu segera mengalihkan tatapannya. Kini ia tidak lagi mengamati kedua orang yang sedari tadi mereka bicarakan. Perhatiannya telah ia alihkan kearah makanan yang ada di hadapannya tanpa menyentuhnya sama sekali. Karena napsu makannya telah menguap entah kemana. Melihat hal itu, Arumy juga merasa prihatin. Ia berniat untuk menghibur, tapi ia sendiri tidak tau apa yang harus di lakukannya.
“Tapi Arsyil. Sebaiknya loe jangan salah paham dulu. Kita kenal Ishida kan sudah lama. Ya mungkin aja mereka cuma temen biasa. Lagian menurut gue nggak mungkin juga mereka jadian. Secara mereka juga baru kenal.”
Masih tanpa kata, Arsyil menoleh. Menatap kearah Arumy yang juga sedang menatapnya.
“Maksut gue, Ishida bilang dia kenal Reihan karena mereka temen satu les. Sementara ia sendiri belum juga sebulan les disana. Ya jadi mggak mungkin juga kan ada orang yang langsung jadian kalau baru kenal?”
Arsyil tidak membalas, walau tak urung ia merasa ucapan Arumy ada benarnya. Perlahan ia menoleh kembali kearah Ishida sebelum kemudian ia bangkit berdiri.
“Loe mau kemana?” tanya Arumy heran.
“Mereka sudah pergi,” balas Arsyil sambil mengeluarkan dompet dari sakunya baru kemudian mengeluarkan uang ratusan dan ia letakan di atas meja.
“Sory ya Arumy. Gue duluan,” pamit Arsyil sebelum kemudian berlalu.
“Tunggu dulu. Arysil, maksut loe, loe pengen ngejar mereka?” teriak Arumy yang hanya di balas lambain tanpa menoleh dari Arsyil. Karena pria itu lebih memilih berlari agar tidak kehilangan jejak orang yang ingin diikutin.
![]() |
Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta |
“Ishida?” gumam Arumy lirih membuat Arsyil mengernyit. Jangan bilang kalau Ishida ada disini. Tapi ketika melihat raut terpaku yang tergambar di wajah Arumy yang sama sekali tidak mengalihkan tatapannya, dengan ragu Arsyil berbalik. Dan Arsyil langsung membulatkan mata melihat apa yang ada di hadapannya.
“Itu beneran Ishida kan?” kata Arumy lagi.
Saat itu tatapannya memang mengarah lurus kearah kejauhan. Selang beberapa meter jauh darinya tampak sosok yang ia kenali sebagai sahabatnya sedang berbicara akrab sambil tertawa lepas dengan seseorang di sampingnya. Arumy tidak bisa melihat dengan jelas, karena pria itu menghadap kearah yang berlawanan. Terlebih ia mengenakan topi.
“Kayaknya sih itu beneran Ishida. Tapi dia bareng siapa? Kakaknya?” Arsyil ikutan bergumam sambil terus mengamati dari kejauhan.
“Kayaknya bukan deh,” Arumy mengeleng. Tepat pada saat yang bersamaan orang tersebut berbalik sehingga Arumy bisa melihat wajahnya. “Reihan?”
“Reihan? Siapa? Loe kenal dia?” tanya Arsyil sambil berbalik menghadap Arumy.
“Kenal deket si enggak. Tapi kayaknya gue tau. Cuma elo inget nggak, waktu pertandingan persahabatan di sekolah waktu itu. Yang lawan sama anak SMA PEMDA?”
Walau tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini akan di bawa, tak urung Arsyil mengangguk membenarkan.
“Nah, coba loe perhatiin deh. Loe merasa kenal wajahnya nggak? Soalnya waktu itu dia ikutan main lawan kalian.”
Arsyil kembali mengalihkan tatapannya kearah kedua orang yang tidak menyadari kalau ada mata yang mengawasi. Keduanya malah terlihat asik menikmati Ice Cream sambil sibuk mengobrol. Entah apa yang sedang mereka obrolkan. Hanya saja keduanya tampak sedang berbahagia, terlebih dengan tawa yang selalu lepas dari bibir Ishdia. Melihat hal itu, entah datangnya dari mana Arsyil merasa sesak didadanya. Sebagai catatan, sama sekali tidak ada gejala Asma dalam keluarganya.
“Gue lupa. Tapi kalau seandainya itu memang bener, gimana loe dan Ishida bisa kenal sama dia?”
“Gue kenal karena Ishida yang ngenalin. Dia bilang Reihan itu temen les nya dia?”
“Les?” Arsyil terlihat makin bingung.
“Iya,” angguk Arumy. “Jadi beberapa waktu yang lalu Ishida bilang kalau dia ikutan les bahasa inggris.”
“Akh, kayaknya gue inget. Kalau nggak salah waktu itu kalian ngobrolnya waktu habis pertandingan kan?” kata Arsyil setelah beberapa saat sempat terdiam.
Arumy hanya mengangguk membenarkan.
“Kalau itu hubungan mereka berdua sejauh apa?”
“Sory, tapi untuk pertanyaan yang satu ini kayaknya gue juga nggak tau jawabannya,” sahut Arumy dengan raut menyesal.
Arsyil terdiam. Pria itu segera mengalihkan tatapannya. Kini ia tidak lagi mengamati kedua orang yang sedari tadi mereka bicarakan. Perhatiannya telah ia alihkan kearah makanan yang ada di hadapannya tanpa menyentuhnya sama sekali. Karena napsu makannya telah menguap entah kemana. Melihat hal itu, Arumy juga merasa prihatin. Ia berniat untuk menghibur, tapi ia sendiri tidak tau apa yang harus di lakukannya.
“Tapi Arsyil. Sebaiknya loe jangan salah paham dulu. Kita kenal Ishida kan sudah lama. Ya mungkin aja mereka cuma temen biasa. Lagian menurut gue nggak mungkin juga mereka jadian. Secara mereka juga baru kenal.”
Masih tanpa kata, Arsyil menoleh. Menatap kearah Arumy yang juga sedang menatapnya.
“Maksut gue, Ishida bilang dia kenal Reihan karena mereka temen satu les. Sementara ia sendiri belum juga sebulan les disana. Ya jadi mggak mungkin juga kan ada orang yang langsung jadian kalau baru kenal?”
Arsyil tidak membalas, walau tak urung ia merasa ucapan Arumy ada benarnya. Perlahan ia menoleh kembali kearah Ishida sebelum kemudian ia bangkit berdiri.
“Loe mau kemana?” tanya Arumy heran.
“Mereka sudah pergi,” balas Arsyil sambil mengeluarkan dompet dari sakunya baru kemudian mengeluarkan uang ratusan dan ia letakan di atas meja.
“Sory ya Arumy. Gue duluan,” pamit Arsyil sebelum kemudian berlalu.
“Tunggu dulu. Arysil, maksut loe, loe pengen ngejar mereka?” teriak Arumy yang hanya di balas lambain tanpa menoleh dari Arsyil. Karena pria itu lebih memilih berlari agar tidak kehilangan jejak orang yang ingin diikutin.
Post a Comment for "Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 09"
Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...