Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 06
Nggak sadar udah masuk bulan baru, eh tapi postingan baru belom muncul juga. Hadee. So yo wes, kali ini admin muncul dengan lanjutan cerpen {Bukan} sahabat jadi cinta part 6. Kira kira ada yang penasaran nggak si sama lanjutan ceritanya? Kalau iya mendingan langsung baca aja deh. Ngomong ngomong, karena ni cerita lanjutannya rada lama baru muncul phan kali aja udah lupa sama cerita sebelumnya. So bisa langsung di cek disini.
Arsyil tanpak mengantungkan ucapannya, matanya menatap lurus kearah Ishida yang juga sedang menatapnya. Menanti kalimat lanjutan dari pria itu. Tapi pria itu masih terdiam sampai kemudian mulutnya kembali terbuka.
“Ishida, sebenernya selama ini loe anggap gue itu apa sih?”
“Ya?” Ishida mengernyi. Tidak menduga kalau pembicaraan mereka akan berbelok setajam ini. Padahal tadinya ia sudah sangat berharap mendengar pengakuan jujur dari mulut Arsyil.
“Maksut loe?” tanya Ishida lagi tapi Arsyil memilih bungkam. Menanti jawaban dari Ishida yang ia yakini mendengar pertanyaannya.
“Kenapa loe tiba – tiba nanya kayak gitu?” tanya Ishida kemudian.
Kepala Arsyil mengeleng. “Bisa nggak loe jawab aja pertanyaan gue tanpa perlu nanya balik?”
Ishida sedikit mengernyit mendengarnya. Terlebih ketika menyadari raut seirus di wajah Arsyil. Setelah jeda sejenak guna menarik nafas dalam, Ishida menjawab.
“Tentu aja loe itu sahabat gue. Dari dulu sampe sekarang loe itu adalah sahabat gue. Jadi…”
“Gimana kalau gue nggak mau jadi sahabat loe?” potong Arsyil cepat.
“Ya?!” tidak ada yang bisa Ishida lakukan selain memberikan ekpresi kaget di wajahnya.
“Enggak,” Arsyil tanpak mengeleng – gelengkan kepalanya. “Maksut gue, gimana kalau mulai sekarang gue nggak mau lagi jadi sahabat loe?” tambah Arsyil lagi.
Ishida terdiam walau mulutnya sempat tebuka, namun tiada kata yang terlontar. Sepertinya ia cukup terkejut dengan apa yang baru saja di dengar olehnya.
“Kenapa?” tanya Ishida lirih, nyaris tak terdengar.
“He, kenapa?” ulang Arsyil tanpak mencibir. Entah itu mencibir Ishida atau justru mencibir dirinya sendiri. “Loe beneran pengen tau kenapa?”
Sejenak Ishida menoleh kearah Arsyil sebelum kemudian kepalanya mengeleng berlahan. Walau dadanya terasa sesak dan matanya terasa sedikit perih, namun bibirnya masih mampu melontarkan sebuah senyum. Senyuman yang Ishida sendiri tidak tau dari mana asalnya.
“Jadi loe bener bener berharap kalau persahabatan kita berakhir?”
Arsyil yang tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu gantian pasang tanpang terkejut. Sungguh, bukan reaksi seperti ini yang ia inginkan. Walau ia juga tidak tau ia berharap gadis yang berada dihadapannya akan bereaksi seperti apa.
“YA!” Arsyil sendiri hampir tidak mempercayai kalimat tegas yang baru saja meluncur dari mulutnya sendiri.
“Oke deh kalau gitu, gue setuju.”
Seiring dengan kalimat Ishida barusan, suasana mendadak hening dan sepi. Masing – masing tengelam dalam pemikirannya sendiri. Sampai kemudian Arsyil kembali memecah kesunyian.
“Kalau gitu gue pulang dulu. Ma kasih atas jamuan makan siang nya.”
Ishida hanya membalas dengan anggukan kepala. Tanpa kata lagi, Arsyil segera berlalu. Melangkah meninggalkan Ishida yang masih terduduk dalam diam. Bahkan sampai suara pintu yang tertutup, Ishida masih berada dalam posisi yang sama. Barulah setelah terdengar bunyi motor yang meninggalkan rumahnya, tubuh Ishida sedikit bereaksi. Kepalanya menoleh kearah pintu. Yakin kalau yang terjadi barusan bukanlah mimpi. Secara berlahan tangannya mengusap pipi yang entah sejak kapan terlihat basah oleh air mata. Dadanya terasa sesak. Dengan berlahan di hembuskannya nafas dalam dalam sebelum kemudian mulutnya bergumam lirih.
“Gue emang pernah berharap kalau persahabatan kita bisa berakhir, tapi gue nggak pernah berharap kalau akhirnya jadi kayak gini.”
![]() |
Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta |
Arsyil tanpak mengantungkan ucapannya, matanya menatap lurus kearah Ishida yang juga sedang menatapnya. Menanti kalimat lanjutan dari pria itu. Tapi pria itu masih terdiam sampai kemudian mulutnya kembali terbuka.
“Ishida, sebenernya selama ini loe anggap gue itu apa sih?”
“Ya?” Ishida mengernyi. Tidak menduga kalau pembicaraan mereka akan berbelok setajam ini. Padahal tadinya ia sudah sangat berharap mendengar pengakuan jujur dari mulut Arsyil.
“Maksut loe?” tanya Ishida lagi tapi Arsyil memilih bungkam. Menanti jawaban dari Ishida yang ia yakini mendengar pertanyaannya.
“Kenapa loe tiba – tiba nanya kayak gitu?” tanya Ishida kemudian.
Kepala Arsyil mengeleng. “Bisa nggak loe jawab aja pertanyaan gue tanpa perlu nanya balik?”
Ishida sedikit mengernyit mendengarnya. Terlebih ketika menyadari raut seirus di wajah Arsyil. Setelah jeda sejenak guna menarik nafas dalam, Ishida menjawab.
“Tentu aja loe itu sahabat gue. Dari dulu sampe sekarang loe itu adalah sahabat gue. Jadi…”
“Gimana kalau gue nggak mau jadi sahabat loe?” potong Arsyil cepat.
“Ya?!” tidak ada yang bisa Ishida lakukan selain memberikan ekpresi kaget di wajahnya.
“Enggak,” Arsyil tanpak mengeleng – gelengkan kepalanya. “Maksut gue, gimana kalau mulai sekarang gue nggak mau lagi jadi sahabat loe?” tambah Arsyil lagi.
Ishida terdiam walau mulutnya sempat tebuka, namun tiada kata yang terlontar. Sepertinya ia cukup terkejut dengan apa yang baru saja di dengar olehnya.
“Kenapa?” tanya Ishida lirih, nyaris tak terdengar.
“He, kenapa?” ulang Arsyil tanpak mencibir. Entah itu mencibir Ishida atau justru mencibir dirinya sendiri. “Loe beneran pengen tau kenapa?”
Sejenak Ishida menoleh kearah Arsyil sebelum kemudian kepalanya mengeleng berlahan. Walau dadanya terasa sesak dan matanya terasa sedikit perih, namun bibirnya masih mampu melontarkan sebuah senyum. Senyuman yang Ishida sendiri tidak tau dari mana asalnya.
“Jadi loe bener bener berharap kalau persahabatan kita berakhir?”
Arsyil yang tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu gantian pasang tanpang terkejut. Sungguh, bukan reaksi seperti ini yang ia inginkan. Walau ia juga tidak tau ia berharap gadis yang berada dihadapannya akan bereaksi seperti apa.
“YA!” Arsyil sendiri hampir tidak mempercayai kalimat tegas yang baru saja meluncur dari mulutnya sendiri.
“Oke deh kalau gitu, gue setuju.”
Seiring dengan kalimat Ishida barusan, suasana mendadak hening dan sepi. Masing – masing tengelam dalam pemikirannya sendiri. Sampai kemudian Arsyil kembali memecah kesunyian.
“Kalau gitu gue pulang dulu. Ma kasih atas jamuan makan siang nya.”
Ishida hanya membalas dengan anggukan kepala. Tanpa kata lagi, Arsyil segera berlalu. Melangkah meninggalkan Ishida yang masih terduduk dalam diam. Bahkan sampai suara pintu yang tertutup, Ishida masih berada dalam posisi yang sama. Barulah setelah terdengar bunyi motor yang meninggalkan rumahnya, tubuh Ishida sedikit bereaksi. Kepalanya menoleh kearah pintu. Yakin kalau yang terjadi barusan bukanlah mimpi. Secara berlahan tangannya mengusap pipi yang entah sejak kapan terlihat basah oleh air mata. Dadanya terasa sesak. Dengan berlahan di hembuskannya nafas dalam dalam sebelum kemudian mulutnya bergumam lirih.
“Gue emang pernah berharap kalau persahabatan kita bisa berakhir, tapi gue nggak pernah berharap kalau akhirnya jadi kayak gini.”
Post a Comment for "Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 06"
Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...