Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen Romantis "Inikah rasanya cinta" ~ 03 / 06

Kita masih lanjut dengan cerpen inikah rasanya cinta bagian ketiga. Tenang aja, cerpenya nggak molor kok. Cuma sampe bagian ke 6 doank. Sekedar selingan sembari nyari ide untuk kelanjutan Kazua mencari cinta yang masih belum jelas gimana nasipnya. Nah, biar nyambung sama jalan ceritanya bagusan kalau baca dulu bagian sebelumnya pada cerpen inikah rasanya cinta bagian 2.

Inikah rasanya cinta

"Oh jadi kemaren itu karena loe nggak sengaja nabrak Rey makanya loe bantuin dia bawain buku?" angguk Ana sambil mengunyah keripik singkong yang dibelinya dari kantin.

Waktu istirahat kali ini memang sengaja mereka habiskan bersama di bawah pohon jambu taman sekolah. Selain tempatnya adem juga bangku yang di atur enak dijadikan tempat nongkrong. Sementara Irma hanya mengangguk membenarkan.

Vhany dan Ana penasaran akan kejadian kemaren makanya kedua gadis itu bertanya. Tanpa pikir panjang Irma langsung menceritakan semuanya. Minus bagian ia kehilang jam tangan juga senyum Rey kepadanya.

"Kita udah sempet nebak yang aneh aneh tau," Vhany menambahkan.

"Tapi ngomong - ngomong, Vieta sama Jeny mana ya? Kok tumben tu anak nggak gabung?" Irma menghalihkan topik pembicaraan.

"Ha ha ha, loe kira kami ini prangko kemana mana bersama mulu. Ya mereka bareng sama temen - temen yang lain lah."

"Lho, bukannya kalian genk ya? Perasaan kemaren akrab banget. Malah keliatan kompak lagi," kening Irma berkerut heran.

"Ya enggaklah. Genk apaan. Kita itu cuma deket. Ya kalau masalah kompak, emang iya sih. Secara kami berempat emang udah barengan dari kelas satu dulu. Kalau gue sama Vhany malah satu sekolah pas SMP. Tapi tetep, kami itu bukan Genk. Kalau Genk mah kesannya agak gimana gitu."

'O', Irma tampak mengangguk - anggguk walau sebenarnya ia tidak paham. Keliatan akrab, beneran kompak, tapi nggak mau di bilang Genk. Tapi ya sudah lah, terserah apa kata mereka aja deh.

"Eh, An. Menurut loe Rey itu orangnya aslinya gimana sih?"

Bukannya menjawab Ana justru malah menatap Irma curiga membuat yang di tatap jadi salah tingkah. "Ngapain loe nanyain dia. Jangan jangan loe naksir dia ya?" tembak gadis itu yang memang sudah biasa blak blakan.

"Mendingan buang jauh jauh deh rasa itu. Ya ada entar loe malah patah hati. Lagian loe kan liat sendiri. Dia itu pendiem kayak batu, dingin banget kayak Es," Vhany menimpali.

"Kalau di gabungin jadi batu es. Itu malah bisa cair," balasan Irma kontan membuat Ana dan Vhany melongo. "Tenang aja, gue nggak naksir dia. Lagian aneh banget sih. Mentang - mentang gue nanyain dia dikiranya gue naksir. Gue itu cuma penasaran aja kali sama tu anak. Secara biar gimana pun juga dia kan temen sebangku gue," terang Irma menambahkan.

"Ya kan kirain. Kalau menurut gue sih, Rey itu ya orangnya kayak gitu. Pendiem. Coba deh gue tanyain, dari tadi pagi sampe jam istirahat ini selama dia duduk sama loe, dia ada ngobrol nggak?"

Irma tidak lantas membalas pertanyaan Ana padanya. Gadis itu terlihat sedang berpikir.

"Kayaknya nggak ada sih. Jangankan ngobrol sama gue yang notabene nya siswa baru, gue juga nggak ada liat doi ngobrol sama anak anak yang lain. Malahan, tepatnya gue sama sekali nggak ada denger suaranya dia," balas Irma kemudian.

"Nah itu. Ya dia emang gitu," telunjuk Ana ikutan menuding - nuding. Nggak jelas apa maksutnya. Irma hanya mampu ngangguk angguk.
Begitu bel istirahat berakhir, pelajaran selanjutnya adalah pelajaran olah raga. Pelajaran yang paling sangat sangat Irma ingin hindari. Jika tidak terpaksa ia paling males melakukannya. Bukannya apa, hanya saja ia tidak mahir dalam bidang yang satu itu. Baik itu basket, Volly, tenis dan renang sekalipun. Satu satunya yang bisa ia lakukan adalah olah raga lari maraton. Kalau untuk berlari ia memang jagonya. Itu mungkin karena ia sering lari dari kenyataan (???). Yang jelas selain itu, nihil."

"Baiklah semuanya, sekarang kita langsung kumpul di lapangan. Hari ini kita akan adakan pertandingan," kata Pak Zul, guru olahraganya memberikan interuksi, suasana kelas yang awalnya damai kini riuh dengan suaranya sendiri - sendiri. Sebelum pak Zul keluar, Irma sudah terlebih dahulu menghampiri guna menginterupsi.

"Maaf pak, saya boleh minta izin ke UKS nggak pak? Saya merasa agak kurang sehat."

"Irma, loe kenapa? Sakit apa? Kok bisa? Perasaan tadi pas istirahat baik baik aja?" kata Vhany dengan seberondong pertanyaan. Terlihat jelas khawatir. Bukan hanya Vhany, bahkan kini hampir seisi kelas menatap dirinya.

"Bukan apa apa. Cuma pusing aja kok. Setelah isirahat bentar palingan juga baikan," kata Irma sambil memasang tampang lemes.

Dalam hati gadis itu tak henti meminta maaf. Sejujurnya ia paling anti kalau harus berbohong. Bahkan istilah berbohong demi kebaikan juga tidak ada dalam kamus hidupnya. Tapi sepertinya anti oleh raga lebih mendomisili. Terlebih ketika ingat pas istirahat tadi Vhany dan Ana sempat cerita kalau akan ada pertandingan Volly nantinya. Tanding melawan kelas sebelah yang memang jam olah raganya sama. Dan mereka memutuskan kalau kelas mereka harus menang. Masalahnya, Irma megang bola aja hampir nggak bisa mau tanding gimana?

"Oh ya sudah. Baiklah kalau begitu. Kamu sebaiknya istirahat. Yang lain ayo ke lapangan."

"Perlu kita anterin?" bisik Ana lirih. Irma membalas dengan senyuman sembari mengeleng berlahan.

"Tenang aja. Gue bisa sendiri kok. Inget, kalian harus menang. Oke," kata Irma mencoba menyemangati. Ana dan Vhany kontan mengangguk. Setelah memastikan Irma bisa sendiri, barulah gadis itu berlalu. Sementara Irma hanya berdiri mengamati teman - temannya yang melangkah keluar. Hebat, baru hari kedua ia jadi siswa di sana, ia sudah bisa membolos. Ck ck ck.

Saat berbalik kearah bangkunya, Irma terkejut. Ia kaget ketika mendapati Rey masih berada di tempat yang sama. Duduk diam dengan tatapan terjurus lurus kearah dirinya.

"Loe nggak beneran sakit kan?"

Dari pada pertanyaan, Irma lebih merasa kalau itu pernyataan. Dan akhirnya gadis itu terpaksa mengangguk. Dalam hati ia merutuk, kenapa pria ini belum pergi.

"Terus kenapa loe bohong."

"Gue benci olah raga. Tepatnya gue nggak bisa. Mana hari ini ada pertandingan lagi. Kata Ana semua siswa harus ikut gantian berpartisipasi. Gue nggak mau kelas kita ntar kalah cuma gara - gara gue," terang Irma sambil menunduk.

"Emang seancur apa sih permainan loe?" tanya Rey dengan tatapan menyelidik. Irma hanya membalas dengan cibiran. Lagian pria ini aneh sekali. Giliran rame orang, diem kayak patung. Giliran cuma mereka berdua kenapa baru berani nyapa.

"Ah tau deh. Udah pergi aja gih sono, jauh jauh loe dari gue," kata Irma sambil melambai lambaikan tangannya. Isarat mengusir seseorang.

"Loe ngusir gue?" Rey pura pura pasang tampang kaget. "Awas loe, entar gue laporin sama pak Zul kalau sebenernya loe cuma pura - pura sakit baru tau."

"Ih dia ngancem. Demennya main ngadu."

"Dari pada demen bohong," serang Rey balik. Bikin gondok Irma mendengarnya. Sudah di bilang kan kalau dia paling anti kalau harus berbohong, dan ini apalagi. Ia di tuduh demen bohong.

"Gue itu nggak demen bohong. Anti banget malah. Cuma ini tuh terpaksa. Urgent, makanya sekarang gue bohong. Dan itu juga bohong putih," Irma mencoba membela diri.

Sejenak Rey terdiam tapi beberapa saat kemudian tawa pecah dari bibirnya. Bohong putih? Yang benar saja.

Sementara Irma semakin donkol. Dimana lucunya coba. Namun belum sempat gadis itu marah, ia sudah terlebih dahulu di buat terpaku. Ini untuk ketiga kali. Jantungnya kembali berdetak cepat. Membuatnya merasa was was. Masa sih hanya melihat orang tertawa bisa memberikan efek seperti itu padanya. Gawat, pasti ada yang salah. Dan Irma mulai yakin kalau sosok di hadapannya itu berbahaya. Ia harus hati - hati.
"Ehem... Kenapa loe diem sambil liatin gue gitu?" pertanyaan Rey membuyarkan lamunan Irma. Dengan cepat gadis itu mengalihkan perhatiannya. Disambarnya tas rangsel yang tersebunyi di balik laci meja, baru kemudian berbalik pergi. Siap untuk berlalu. Ia masih heran sekaligus tidak tau kenapa, yang jelas jantungnya masih berdebar tak beraturan. Ini luar biasa.

"Tunggu dulu, loe marah?"

Bukannya menjawab, Irma melirik tangannya. Baru kemudian beralih kearah wajah Rey. Pria itu terlihat salah tingkah. Sambil mencoba tersenyum ia menarik kembali tanganya. Tadi itu gerak refleks. Melihat Irma akan pergi tangannya secara otomatis menyambar tangan gadis itu.

"Sory."

"Gue nggak marah. Gue cuma mau ke UKS. Kalau gue tetep disini, terus ada yang liat. Entar di kira gue bohong lagi," kata Irma. "Lagian secara teknis, sebenernya gue nggak beneran bohong kok," selesai berkata Irma cepat cepat berlalu. Begitu keluar ia menyentuh dada kirinya. Detakannya masih belum normal, bahkan kini ia juga merasa agak kesulitan bernapas. Astaga ada apa dengan dirinya. Kemudian bergegas ia menuju kearah UKS. Cuma masalahnya UKS itu sebelah mana ya? Gadis itu menatap kesegala arah dengan bingung. Sekolahnya selain luas, gedungnya juga tingkat 3. Untuk kelas dua khusus di lantai 2 sementara kelas 3 di lantai paling atas. Kelas satu di lantai bawah. Tapi tetep, ia tidak bisa menebak, UKS di sebelah mana.

"UKS di lantai dua. Loe jalan aja terus kedepan sampai ke ujung, terus loe belok kiri. Pertama loe akan liat labor, tiga pintu dari situ UKS. Pas ruangan yang menghadap ke lapangan."

Releks Irma berbalik. Rey kini berdiri tepat di hadapanya. Sedang menatapnya sambil tersenyum simpul. Setelah itu ia langsung berbalik kearah berlawanan dan turun kebawah.

Irma masih berdiri terpaku di tempat semula. Bahkan ketika Rey sudah hilang dari pandangan. Oh iya, ada yang lupa ia ceritakan. Dari dulu, Irma sangat suka melihat cowok yang menyisir rambutnya berdiri gitu. Persis seperti model rambut Ret. Terkesan cool, keren lah pokoknya.

Tapi ngomong - ngomong, bukan karena itu ia lantas suka sama Rey kan? Oh ayolah, ini baru dua hari. Tak ingin terlalu memikirkannya, Irma segera melangkah ke tempat yang di tunjuk.

Tiba di UKS, Irma mengamati sekeliling. Sepi. Bahkan yang menjaga hanya seorang cewek sendirian. Sepertinya itu juga kakak kelasnya. Setelah sedikit berbasa basi menjelaskan kondisi dirinya, Irma minta izin untuk istirahat di salah satu ruangan di bagian sudut. Tempat yang tepat di dekat jendela. Rey benar, ruangan itu tepat menghadap lapangan. Dari sini ia bisa dengan leluasa mengawasi teman - temannya.

Lama Irma terdiam sambil mengamati teman - temannya. Ada yang bersorak. Ada yang teriak teriak. Yang jelas terlihat seru, tanpa sadar gadis itu tersenyum. Setelah terlebih dahulu menghela nafas, ia bangkit berdiri. Menutup tirai di hadapannya baru kemudian membuka riselting tas yang ia bawa. Secara berlahan di keluarkannya notebok dari sana dan segera menyalakannya. Benda itu memang selalu ia bawa. Alasannya simple. Ia sangat gemar menulis. Tepatnya menulis cerita. Walau tidak pernah di bukukan dan palingan di posting di blog pribadinya. Tetap saja ia suka. Setelah menyambungkan modem, ia mulai sigin ke akun blogger dengan nama penanya. Nama yang ia yakin tidak di ketahui oleh teman - temannya. Tidak teman - teman yang dulu, tidak juga yang sekarang. Dalam diam tangannya mulai menari di atas keyboard.

Tak sadar waktu terus berlalu. Irma melirik jam yang tertera di sudut notebooknya. Jam olah raga hampir selesai bertepatan dengan selesainya kisah yang ia karang barusan. Setelah mengklik 'publis' gadis itu mematikan notebooknya, dan segera kembali kekelas.

"Jadi gimana tadi? Kelas kita menang?" tanya Irma kearah Ana yang baru muncul kekelasnya. Gadis itu terlihat lelah, bahkan teman - temannya yang lain juga. Tapi tetap, wajahnya terlihat sumringah.

"Iya donk. Akhirnya kelas kita menang. Seru banget tadi. Akh, elo pake sakit segala. Sayang banget jadi nggak bisa ikutan," terang Ana bersemangat. Irma hanya mampu melemparkan senyum minta maaf. Terlebih gurunya kini sudah ada di depan kelas. Siap untuk memulai pelajaran selanjutnya.

Next To Inikah Rasanya cinta Part 04

Detail Cerita
  • Judul cerita : Inikah Rasanya cinta
  • Nama Penulis : Ana Merya
  • Part : 01 / 06
  • Status : Finish
  • Ide cerita : Jatuh cinta alias kasmaran #krik #krik. Eh enggak dink. Bohong. Yang bener ntu cuma ide ngasal aja.
  • Panjang cerita : 2. 136 kata
  • Genre : Remaja
Ana Merya
Ana Merya ~ Aku adalah apa yang aku pikirkan ~

1 comment for "Cerpen Romantis "Inikah rasanya cinta" ~ 03 / 06"

Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...