Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen Remaja Terbaru "That Girl is mine" ~ 07

Holla halloo, untuk kategori blog yang sering terabaikan, agak salut juga emang masih banyak yang mampir di mari #krikkrik. Yah, harap di maklumi aja lah. Lain padang lain ilalan, lain dulu lain sekarang. Ngebagi waktu buat nulis itu udah susah pake banget. So yang masih ngikutin jalan cerita dari cerpen That Girl is mine, bisa simak ceritanya di bawah. Kali aja udah lupa sama bagian sebelumnya, bisa nyimak dulu disini. Happy reading...

Cerpen That Girl is mine

Tepukan di bahu kanan Airi membuat gadis itu menoleh kaget. Tapi tidak ada siapa siapa sementara kursi di sebelah kirinya berderit, membuat gadis itu memutar kepala dengan cepat. Matanya membulat sempurna seiring dengan kalimat sapaan yang mampir di telinga.

"Baru mau makan siang juga?" tanya Kei dengan raut polosnya.

"Loe ngapain disini sih?"

Sebelah alih Kei terangkat. Matanya membalas tatapan tidak suka Airi dengan raut heran. "Itu bukan jawaban," komentarnya.

Airi memutar mata. Napsu makannya menguap. Dan sepertinya usaha untuk mendinginkan hati dengan es gunung andalan akan percuma. Mustahil ia bisa mendinginkan hati kalau yang membuat panas kini duduk tepat di sampingnya. Setelah menghela nafas, Airi bangkit berdiri. Sebaiknya ia segera berlalu pergi.

"Duduk," tak hanya kalimat perintah, bahkan tanpa permisi tangan Kei menarik tangan Airi. Membuat gadis itu kembali mendaratkan tubuhnya di tempat semula.

"Mau loe itu sebenernya apa sih?"

"Emp?" Kei pasang pose berpikir. "Makan siang bareng loe," balasnya sambil mengumbar senyum polos.

Lagi - lagi Airi menghela nafas. Ia sudah memutuskan, ia tidak akan tertipu dengan senyuman polos itu. "Ogah!" Airi sudah berniat untuk segera pergi ketika tau tau pelayan kantin kini sudah berdiri tepat di sampingnya dengan membawa napan. Dua mangkuk bakso dan dua porsi es gunung kini berada tepat di hadapannya. Airi yakin ia tadi memang memesan es gunung, tapi hanya satu. Bukan dua apalagi dengan membawa teman baksonya.

"Udah gue pesenin. Mending buruan makan. Jangan mubazir," jelas Kei tanpa di minta. "Atau loe mau gue suapin?" dengan kurang ajarnya Kei kini menyendokan es gunungnya dan menyodorkan kearah Airi. Jika tidak mengingat kalau kini mereka sedang berada di kantin sekolah yang sedang rame ramenya, pasti Airi akan langsung menghajar pria itu. Memutuskan mengalah, Airi meraih es gunung miliknya sendiri dan mulai menikmati dalam diam.

"Baksonya juga," perintah Kei sambil memindahkan semangkuk bakso yang telah ia pesan tepat kehadapan Airi.

Walau kesel, Airi tetap menuruti perintah itu. Masih tetap bungkam, ia mulai menyendokan baksonya. Mungkin sebaiknya ia menuruti pesan Iris dan Kiara tadi. Nikmati saja. Karena Kei yang pesan, jadi harusnya pria itu yang bayar. Baiklah, anggap saja makan gratis. Dan sebagai kompensasi, ia cukup menganggap pria itu tidak ada disampingnya.

Berpura - pura tidak menyadari kalau Kei hanya memperhatikan dirinya, Airi terus menyedokan makanan itu. Bahkan isi mangkuk baksonya kini hampir ludes. Sampai kemudian, Airi nyaris di buat tersedak ketika tau tau jempol Kei menyapu bibirnya. Gadis itu segera menoleh samil melotot tajam kearah Kei yang kini menatapnya polos.

"Gue cuma bantu ngelapin. Secara loe makannya terlalu bernapsu sampai belepotan gitu."

"Gue bisa.. uhuk uhuk..." Airi tidak melanjutkan omelannya ketika merasa tenggorokannya tercekik. Efek bakso yang pedes di tambah kaget juga kesel justru malah membuatnya tersedak. Walau masih kesel, tak urung ia meraih uluran Kei yang menyodorkan air mineral yang telah di buka untuknya dan langsung menyesapnya.

"Loe beneran ceroboh ya? Harus berapa kali sih gue bilang untuk hati - hati?"

Omelan Kei bukannya membuat Airi sadar justru malah membuatnya gusar. Apa apaan pria itu?

"Loe..." Airi menahan diri untuk tidak termakan emosi. Tapi ngomong ngomong emangnya ia bisa tidak emosi kalau berada di dekat Kei?

"Memangnya gue ngapain?" masih dengan wajah polos andalannya, Kei membalas tatapan Airi. Sama sekali tidak terpengaruh dengan sikap gadis itu yang jelas jelas tidak suka padanya. "Gue kan cuma bantuin."

"Gue nggak pernah bilang kalau gue butuh bantuan loe."

"Gue nggak keberatan bantuin loe tanpa di minta," Kei angkat bahu. Tangannya terulur untuk menyilangkan sendok dan garpu di atas mangkuk baksonya sebelum kemudian mendorongnya menjauh. Sekilas Airi menyadari kalau makanan itu nyaris tidak tersentuh..

"Lihat siapa yang bilang untuk tidak mubazir," sindir Airi membuat alis Kei terangkat. Pria itu kemudian mengalihkan tatapannya kearah mangkuk baksonya baru kemudian menatap kearah Airi.

"Gue akan habiskan makanan ini, dengan catatan loe harus nungguin gue."

Airi memutar mata. "Kenapa gue harus?"

"Karena gue nggak suka makan sendirian," senyum pria itu baru kemudian meraih kembali mangkuk baksonya. Perlahan ia mulai menyedokan makananya. Kuahnya yang mulai dingin membuat rasa nikmatnya berkurang, namun tak urung tetap ia makan. Terlebih ketika menyadari kalau Airi masih menatapnya.

"Loe mau lagi? Gue liat tadi loe napsu banget makannya," kata Kei sambil menoleh, Airi hanya memmutar mata melihatnya. Dalam hati ia merutuk, kok ia mau maunya sih nurutin perintah pria itu untuk nungguin makan? Sementara Kei tersenyum melihatnya baru kemudian kembali melanjutkan makannya dengan lahap.

"Nah, udah selesaikan? Gue udah boleh pergi donk," bahkan Kei belum sempat menelan habis bakso dalam mulutnya ketika Airi mengucapkan kalimatnya. Tanpa menunggu balasan, gadis itu bangkit berdiri. Belajar dari pengalaman, kali ini Airi lebih sigap. Gadis itu berhasil menghindar ketika tangan Kei terulur untuk menahannya. Menyadari kalau pria itu masih harus minum air agar tidak tersedak, Airi buru - buru ngacir menyelamatkan diri. Terlebih ketika menyadari kalau Kei masih harus membayar makanannya. Otomatis ia masih punya cukup waktu untuk bersembunyi. Setidaknya hingga bel masuk yang masih tersisa 15 menitan.

"Ya ampun. Bego banget sih gue. Emangnya gue punya salah apa sampe harus sembunyi segala," gerut Airi sendiri ketika menyadari kalau kini ia sedang duduk berjongkok di bawah rumpunan bunga kembang sepatu yang tumbuh terawat diantara halaman sekolah.

Secara perlahan Airi bangkit berdiri, matanya yang jeli mengawasi ke sekeliling sampai kemudian terhenti pada sosok Kei yang sedang berjalan di koridor dengan pandangan menyapu sekeliling. Otomatis gadis itu membatalkan niatnya. Tanpa perlu bertanya ia tau kalau Kei sedang mencari seseorang yang diyakini orang itu adalah dirinya.

"Haduh, tu orang mau ngapain sih?" gumam Airi sambil mengintip ditempat persembunyiannya.

"Justru saya lebih penasaran lagi. Kamu disini ngapain?"
Kalimat yang tiba - tiba mampir di telinga Airi membuatnya refleks menoleh. Efek terlalu terkejut membuat gadis itu hanya mampu membuka matanya lebar - lebar baru kemudian tampak berkedap kedip tak beraturan sementara mulutnya tetap membisu. Tepat di hadapannya kini tampak Pak Bagas, tukang kebun sekolah.

"Lagi ngintipin orang ya? Siapa?" tanya Pak Bagas sambil berusaha untuk melongok kearah Airi sedari tadi mengintip.

"Eh ada Pak Bagas. Lagi ngapain pak? Emp... Mau ngerapiin bunganya ya? Oh iya. Anu, Ini sedari tadi juga saya memperhatikan bunganya. Kok bentuknya bisa unik gini. Ternyata hasil kreasi pak Bagas. Jadi ceritanya dirumah saya juga banyak tumbuh bunga sepatu ini. Ntar saya mau coba bikin model gini juga. Makanya saya perhatikan dengan seksama. Gitu..."

Penjelasan panjang lebar dari mulut Airi justru malah membuat kening Pak Bagas jadi berkerut heran. Tidak memberi kesempatan kepada pria itu untuk bertanya lebih lanjut, Airi segera menambahkan kalimatnya.

"Dan kayaknya saya juga udah ngerti gimana motongnya. Ya sudah, saya pamit ya pak. Udah mau bel. Mari pak," Airi menudukan kepalanya sejenak, baru kemudian segera ngacir kekelasnya. Beruntung tak lama berselang bel masuk terdengar.

"Loe dari mana? Kok ngos ngosan gitu?" tanya Kiara begitu Airi duduk mengantikan posisi Iris yang baru kembali ke mejanya. Melihat kedua sahabatnya masih berada di posisi yang sama sejak ia pergi, telebih juga tampak beberapa bungkus keripik singkong yang sudah ludes dan kulit kacang di tas meja membuat Airi curiga kalau sedari tadi keduanya menghabiskan waktu istriahat hanya di kelas.

"Ngejar kucing yang kesasar," jawab Airi ngasal. Belum sempat Iris ikut bertanya ia sudah lebih dahulu menambahkan. "Kalian tumben jam istriahat di kelas aja. Ngegosipin apaan?"

Iris dan Kiara saling pandang membuat Airi makin curiga.

"Ooo... Jadi sekarang mau main rahasia rahasian berdua. Oke, nggak papa. Nggak usah cerita sama gue, emangnya gue siapa ya kan?"

"Nggak gitu Ar, tapi..." ucapan Kiara terputus ketika melihat kemunculan Pak Gordon di depan kelas. Menyadari kalau Pak Gordon adalah salah satu guru yang terkenal sangar, tak hanya namanya, bahkan perawakannya juga, Kiara memilih tutup mulut. Membiarkan Airi hanya mengedap kedipkan matanya tanpa kata ketika menyadari kalau penjelasan sahabatnya terpotong begitu saja.

"Ntar aja kita ceritanya. Oke."

Walau Airi tidak membalas, Kiara tau kalau gadis itu setuju. Terlebih ketika melihat sahabatnya kini mengalihkan perhatiannya pada buku di tangan.

Begitu bel istriahat kedua terdengar, lagi lagi Kiara dan Iris harus menghabiskan waktunya di kelas. Kali ini bukan karena keinginan mereka tapi karena Airi yang memaksa. Tidak tepat begitu juga si. Airi tidak pernah memaksa. Justru gadis itu malah hanya diam. Diam yang benar benar diam. Untuk yang telah kenal cukup lama dengan gadis itu pasti tau, kalau diamnya Airi lebih berarti sesuatu.

"Ar, loe nggak sholat?" tanya Kiara membuka percakapan. Kebetulan istirahat kedua memang bertepatan dengan sholat Zuhur. Dan biasanya Airi pasti langsung ngacir ke mushala. Kadang Iris, kalau pas lagi tobat suka ikut. sering sering ia malah menghabiskan waktu bareng Kiara untuk makan siang. Apalagi Kiara kebetulan notabene-nya memang non muslim.

"Loe ngusir gue?" tanya Airi dengan tatapan menyipit.

"Gue ngingetin. Ih sensitif banget. Lagi dapet ya?" gerut Kiara. Melihat Airi yang hanya diam ditempat, sepertinya tebakannya benar.

"Jadi, kalian nggak mau cerita nih?" tanya Airi setelah terdiam sejenak.

"Kalau kita ceritanya di kantin aja gimana?" usul Iris. Bukannya apa. Tadi istirahat pertama ia cuma makan keripik sama kacang kulit yang di bawa oleh Kiara. Itu juga tidak seberapa. Tambahan tadi pagi, ia juga lupa sarapan. Jadi wajar kalau kini cacing di perutnya pada berontak minta diisi.

"Ogah!"

Kiara dan Iris kembali saling pandang. Setelah mengingat dan menimbang segala sesuatunya, terlebih ketika menyadari kalau gadis yang lagi dapet biasanya memang suka sensian, akhirnya keduanya memutuskan mengalah tanpa aba aba.

"Oke deh, kita ceritanya disini aja," kata Iris sambil menarik kursinya mendekat kearah Airi. Sengaja mensekip acara duduk diatas meja.

"Loe nggak sholat?" gantian Airi yang mengingatkan Iris yang kini hanya melemparkan senyum polos. Sikap malasnya sedang kumat. Membuat Airi hanya mampu membatin dalam hati. Sungguh, temannya itu butuh siraman rohani. Meninggalkan sholat dengan sengaja bisa bisanya melemparkan senyum tanpa dosa begitu. Namun begitu, Airi tetap diam. Kewajibannya hanya mengingatkan, bukan memaksa.

"Jadi gini Ar," kali ini Kiara yang buka suara. "Loe inget Dion nggak?"

Airi tidak lantas menjawap. Kepalanya segera mengingat sambil membayangkan makhluk yang di maksud sahabatnya. Dion? Dion siapa? Dion Wiyoko. Akh kalau itu sih ia ingat banget. Kebetulan pria yang satu itu kini mendadak menjadi idolanya sejak di kabarkan kalau ia akan menjadi pemeran utama dalam sebuah film yang di adaptasi dari novel favoritnya, Winter in tokyo karya dari Ilana tan.

Tapi ngomong - ngomong apa hubungannya antara film tersebut sama obrolannya dengan temannya ya.
"Lah dia malah bengong. Ditanyain Kiara juga. Loe inget Dion nggak. Dion wicaksana, anak IPA kelas 11 - G. Yang pinter main drum itu? Yang keren, tinggi, cakep," kali ini Iris yang buka mulut.

Airi mengangguk. Oh, jadi yang di maksud Dion Wicaksana bukan Dion Wiyoko. Tidak ingin membuat kedua sahabatnya salah tafsir dengan maksut anggukan kepalanya, Airi dengan cepat mengeleng.

"Nggak tuh, gue lupa. Memangnya dia kenapa?" tanya Airi dengan tatapan menyipit. Apalagi Iris ngomongnya antusias gitu.

Berbanding balik dengan Kiara yang memiliki ingatan kuat, Airi adalah sosok yang paling mudah untuk melupakan wajah seseorang. Herannya selain gampang lupa, ia juga susah untuk mengingat. Dan memang sudah dari sononya begitu

"Tadi malem dia nembak gue," Kiara yang menjawab. Airi hanya membuka mulutnya tanpa suara.

"Tutup tu mulut. Takutnya lalat masuk," Iris menyodorkan tangan, menyentuh dagu Airi. Hanya dengan sentuhan, mulut Airi tertutup. Tapi sedetik kemudian kembali terbuka dengan rentetan pertanyaannya.

"Dion wicaksana nembak loe? Terus kenapa? Loe tolak kan? Nggak mungkin loe terima kan? Baru juga beberapa minggu yang lalu loe ngangis nangis ke gue karena di putusin cowok, eh sekarang malah mau pacaran lagi. Nggak bisa!"

Kiara dan Iris saling pandang. Seperti yang mereka duga, reaksi Airi pasti seperti ini. Itulah asalannya kenapa tadinya mereka memutuskan untuk merahasiakannya saja dari gadis itu.

"Udah kadung gue terima," gumam Kiara sambil menunduk.

"Ya?" Airi menduga kalau ia salah dengar. Tapi sepertinya tidak, terbukti dengan kepala Iris yang tampak mengangguk membenarkan.

"Udah loe terima? Ya bener aja donk Ra?" Airi masih tidak percaya.

"Ayolah Ar. Dion itu bukan Io. Dan lagi, masa hanya gara gara Io yang rese, gue nggak bisa pacaran lagi?"

Airi tidak membantah. Namun bukan berarti ia setuju. Matanya menoleh kearah Iris, menunggu reaksi gadis itu. Tapi sepertinya Iris lebih berpihak kearah Kiara.

"Gagal dalam cinta itu kan biasa," akhirnya Iris buka mulut. Melihat Airi yang hanya diam menatapnya, tanpa diminta Iris kembali melanjutkan ucapannya. "Apalagi kita juga memang masih anak SMA. Masih muda. Masih banyak hal yang dapat kita coba dan pelajari. Nggak ada salahnya sekali dua kita terjatuh, asal tetap tidak lupa tentang bagaimana caranya untuk bangkit kembali. Lagi pula masa muda itu hanya sekali Ar, Wajar kalau kita nikmati bukan?"

"Dan kalau nanti patah hati lagi?"

"Apa gunanya kalian jadi temen kalau nggak bisa menghibur," Kiara menjawab cepat sambil tertawa bahagia. Kedua tangannya ia rentangkan, menarik kedua temannya untuk mendekat. Berusaha untuk memeluknya erat. Membuat Airi kembali mencibir baru kemudian meronta agar Kiara segera menghentikan ulahnya. Secara ia kan duduk ditengah. Sudah panas, dempet dempetan lagi.

"Nah, sekarang kita udah cerita kan? Nggak ada lagi yang namanya rahasia. So..." Airi menatap kearah Iris yang tiba tiba bangkit berdiri. Masih dengan senyum yang bertenger di wajahnya tangan Iris terulur, menarik Airi untuk ikut berdiri. "Ayo kita kemon. Gue beneran kelaperan. Sebelum istriahat habis mendingan kita langsung kantin. Lets go.."

Kali ini Airi tidak bisa membantah. Sebab bukan hanya Iris yang menarik tubuhnya, bahkan Kiara ikut mendorong dari belakang. Sempet kesel awalnya namun tak urung Airi tersenyum. Walaupun kadang kedua temannya suka semena - mena, namun ia tau kalau mereka adalah sahabat terbaik yang pernah ia punya.

"Loe beneran nggak mau pesen apa apa Ar?" tanya Iris. Airi hanya mengeleng sementara pandangan ia alihkan ke sekeliling. Perutnya masih kenyang.

"Gue udah makan bakso tadi."

"O, ya udah," Iris hanya angkat bahu baru kemudian berjalan menjauh untuk memesan makanannya. Sementara Kiara dan Airi duduk menunggu.

"Ar, minggu besok kan libur. Kita jalan yuk. Bareng sama Iris juga," kata Kiara membuka pembicaraan.

"Kemana?"

"Kemana kek. Suntuk tau liburan di rumah aja. Loe juga palingan tidur kan? Secara jadwal libur kerja loe juga minggu kan?"

Airi mengangguk membenarkan. Libur memang biasanya ia manfaatkan untuk istriahat total. Sekedar tidur atau bermalas malasan di kamar.

"Emangnya loe nggak kencan?" tanya Airi setelah terdiam beberapa saat kemudian.

Kiara hanya nyengir sambil mengeleng. "Kencan kan malamnya. Kita jalan siangnya. Elo setuju kan Ris?"

"Setuju apa nya?" tanya Iris dengan kening berkerut. Secara ia baru juga mau duduk, nggak tau apa yang lagi kedua temannya bicarakan eh tau tau di mintain pendapat.

"Minggu besok kita jalan," jelas Kiara.

"Setuju!" tak perlu bertanya kemana mereka akan pergi, Iris langsung mengiyakan. Melihat kedua temannya yang begitu bersemangat akhirnya mau tak mau Airi ikut mengangguk setuju. Lagi pula kalau diingat lagi, itu bukan ide yang buruk.

Next Cerbung That Girl is Mine Part 8

Detail Cerbung
Ana Merya
Ana Merya ~ Aku adalah apa yang aku pikirkan ~

3 comments for "Cerpen Remaja Terbaru "That Girl is mine" ~ 07"

  1. kasih bocoran endingny yak^^#kabuur

    ReplyDelete
  2. lanjutanya lg dong kak.penasaran pengen tau.

    ReplyDelete

Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...