Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen Remaja Terbaru "That Girl is mine" ~ 02

Hallo Felas, ketemu lagi nih bareng admin yang baru mulai muncul setelah sempat menghilang untuk sejenak. Ceritanya kan libur lebaran, so mudik dulu. Nah, kemunculan kali ini khusus buat bawain lanjutan dari cerpen That girl is mine bagian kedua. Biar tau gimana jalan ceritanya, bagusan kalau baca dulu bagian pertama disini. Happy reading ya... Jangan lupa di share kalau emang suka. :D

That Girl is mine
That Girl is mine

Seperti biasa, sepulang sekolah Airi tidak langsung pulang kekostannya. Gadis itu segera menaiki bus menuju kearah 'Lovely bakery', toko kue tempatnya bekerja. Ia memang bekerja part time di sana sejak ia menetapkan diri untuk tinggal di kota yang jauh dari orang tua. Selain belajar mandiri, ia juga suka membuat kue. Menghiasinya dengan gambar gambar yang lucu dan unik. Apalagi jika ada pesanan khusus untuk kue ulang tahun ataupun pernikahan. Biasanya ia akan segera menawarkan diri untuk menghiasi kue tersebut. Bosnya juga sama sekali tidak keberatan. Terutama setelah melihat kemampuannya melakukan hal itu.

Dan sore ini sepertinya tokonya juga mendapatkan pesanan untuk menghiasi kue pengantin. Tak tangung tangung, bahkan customernya meminta dalam porsi extra large. Besok kue itu harus sudah di antar ketujuan. Alhasil, Airi benar benar di buat sibuk karenanya. Bersama Ayunda dan Franda ia menyiapkan kue tersebut yang rencananya akan di buat lima tingkat sesuai reques. Sementara Keika dan Kafa melayani toko.

"Akh, akhirnya selesai juga."

Airi menoleh kearah Ayunda yang sedang tersenyum kearah kue yang ada di hadapanya. Melihat itu tak urung Airi ikut tersenyum puas. Tidak sia sia mereka mengerjakannya sedari tadi. Walau tubuhnya terasa pegal karena terlalu lama duduk , tapi sepertinya itu impas dengan hasilnya. Franda bahkan sengaja mengabadikan kue tersebut kedalam memori handphonenya.

"Wah, bagus sekali, kalian memang bisa di andalkan."

Bagai dikomando, Airi, Ayunda dan Frenda menoleh kearah asal suara. Ibu Belinda, manager tokonya muncul dengan tepuk tangan. Sementara Keika dan Kafa mengekor di belakang. Dari raut wajahnya, sepertinya kedua gadis itu juga setuju dengan pendapat sang atasan. Terbukti dengan senyum kagum yang menghiasi wajah.

"Tapi maaf ya, gara - gara ini kalian jadi pulang terlambat."

Seolah baru sadar, Airi segera melirik jam yang melingkar di tangannya. Akh benar saja, pukul 09:35 menit. Lebih 35 menit dari pada jam kerja yang harusnya hanya sampai pukul 09:00 malam. Karena keasikan melukis kue, ia sampai lupa waktu.

"Sekarang mari kita beres beres supaya bisa segera pulang," kata Kafa di ikut dengan tangannya yang secara terampil membereskan sisa tepung yang belum di pakai. Yang lain segera mengikuti tindakannya.

"Loe nggak papa Ar? Bukannya bus terakhir hanya sampai jam 09:30 ya?" tanya Franda sambil tangannya tetap bekerja.

Airi angkat bahu sambil tersenyum. "Nggak papa. Kalau sampai jam 10 masih ada angkot yang lewat."

Franda hanya mengangguk. Habis mau gimana lagi. Waktu memang sudah lewat. Setelah semuanya beres, masing masing pamit kerumahnya masing masing.

Airi masih duduk di halte tempatnya menunggu bus seperti biasa. Walau bus terakhir sudah lewat, jam segini angkot biasanya masih ada. Namun sudah hampir 15 menit menunggu, angkotnya belum muncul juga. Kepalanya sesekali melongok kearah jalanan. Sudah di pastikan ia bisa sampai tengah malam sampai di rumah. Terlebih jalur angkot nanti memutar. Jarak yang harusnya bisa di tempuh 15an menit jika langsung, bisa sampai 1 jam jika pakai angkot. Belum lagi jika nanti harus menunggu penumpang lain.

"Tolong, jambret...!"

Airi menoleh seiring dengan teriakan itu. Matanya menatap kearah seseorang ibu ibu yang sedang berlari mengejar sosok yang lari di hadapannya. Efek kelelahan membuat sistem kerja otak Airi sedikit lebih lambat dari biasanya. Gadis itu baru tersadar beberapa saat kemudian ketika sang penjambret sudah berlari melewatinya. Dan tanpa berpikir ulang, ia ikut berlari mengejar.

Lorong yang sempit di tambah dengan suasana yang remang membuat Airi kesulitan mencari jejak sang penjambret yang sepertinya sudah hapal dengan situasi di sana. Gadis itu mengedarkan pandangan kesegala arah. Tapi yang di cari nihil. Bahkan ibu ibu yang tadi ikut mengejar juga tidak terlihat. Mungkin sang ibu sudah pasrah dengan menghentikan usahanya untuk mengejar.

Menyerah dengan usahanya, Airi berbalik. Gadis itu di buat terkejut ketika menyadari kalau sosok yang sedari tadi ia kejar kini justru berada di belakangnya. Tak hanya itu, bahkan kini ada dua orang lain yang mengekor. Mungkin teman temannya.

"Wah, ni cewek punya nyali juga," suara serak dari penjambret yang paling dapan terdengar.

Melihat itu Airi langsung pasang status siaga. Ia harus waspada. Sepertinya ia harus mendengarkan nasehat Kiara selama ini untuk tidak terlalu berani dan nekat. Walau ia bisa ilmu bela diri, bahkan mengusai teknik karate sejak SMP, itu bukan jaminan kalau ia selalu menang. Terlebih ketika jelas jelas lawannya adalah pria pria berbadan kekar seperti sekarang ini.

"Kembalikan tasnya," Airi sebisa mungkin menjaga suaranya agar tidak terdengar bergetar karena takut.

"Galak juga rupanya," preman kedua ikut bersuara sambil melangkah mendekat. Secara naluriah, Airi melangkah mundur sampai kemudian ia menyadari kalau itu adalah jalan buntu. Mau tak mau ia harus memikirkan cara agar bisa selamat dari situasi sekarang.

Tepat saat preman pertama tiba di hadapannya, tendangan Airi segera menyambutnya di susul dengan pukulan yang membuat pria itu terjengkang ke belakang. Kejadian itu tak urung membuat kedua preman yang lainnya saling pandang.

"Bisa melawan juga ternyata," cibir preman ketiga. Ia memberi isarat pada temannya untuk menyerang secara bersamaan. Terlebih preman pertama juga kini sudah bangkit berdiri sembari mengelap sudut bibirnya yang terluka karena pukulan Airi barusan.

Serangan yang muncul secara bersamaan tak urung membuat Airi kewalahan. Bagaimana pun lawannya bukanlah sosok main main. Bahkan kini kedua tangannya telah di cekal dengan erat dari sisi kiri dan kanan. Tendangan yang ia lemparkan sama sekali tidak membantu. Dengan mudah mereka bisa menghindarinya.

"Sekarang bagaimana manis, masih mau melawan?" suara preman pertama yang berdiri tepat di hadapannya. Napasnya yang bau bahkan bisa Airi cium dengan jarak sedekat itu. Gadis itu pun kembali mencoba meronta tapi kedua preman di sampingnya tetap tangguh. Walau begitu ia tidak akan menyerah.
Ketika Airi sedang sibuk memikirkan ide untuk meloloskan diri, tau tau preman di hadapannya kini jatuh terjengkang di susul suara mengaduh. Walau masih tidak tau apa yang terjadi, dengan rambang Airi mengangkat sebelah kakinya. Menginjak kaki preman di sebelah kiri, membuat cekalan pria itu terlepas. Kesempatan itu segera ia manfaatkan untuk melayangkan pukulan pada preman sebelah kanan. Tak ayal, pria itu di buat mundur.

Masih tidak mengerti apa yang terjadi, Airi menyadari kalau kini tangannya di tarik. Gadis itu urung melayangkan pukulan ketika menyadari kalau tubuhnya di seret menjauh di susul dengan perintah.

"Ayo sekarang kita kabur, bodoh."

Tak tau berapa lama mereka lari, bahkan tujuannya juga tak jelas. Airi akhirnya menghentikan langkahnya. Di hempaskannya cekalan di tangan membuat sosok yang menariknya ikut menghentikan langkah. Pandangannya ia alihkan ke belakang. Sepertinya sang preman juga tidak mengikuti mereka. Membuatnya tak urung menghembuskan nafas lega.

"Elo?" telunjuk Airi lurus kearah wajah sosok yang baru saja membantunya. Ia tau itu tidak sopan, apalagi ketika melihat tatapan tak suka yang ia dapatkan karena ulahnya. Tapi serius, Airi benar - benar tidak percaya ketika mengenali kalau orang yang baru saja membantunya adalah Kei, Kei Takesima. Gimana ceritanya?

"Turunin telunjuk loe atau gue gigit sekarang."

Tak perlu di perintah dua kali, Airi segera menarik tangannya. Namun begitu ia masih menatap kearah Kei yang kini juga sedang menatapnya.

"Loe itu bego atau stupid sih. Ngejar penjahat sendiri di tengah malam begini. Kalau sampai gue nggak muncul loe pikir apa yang bisa terjadi ha?"

Bentakan yang ia dapatkan tak urung membuat Airi bergidik. Kalau sampai Kei tidak muncul membantunya, ia sendiri tidak tau apa yang akan terjadi pada dirinya. Dan jujur, ia tidak berani untuk membayangkan hal itu.

"Jadi tadi elo bantuin gue?" Airi mengakui kalau pertanyaannya terdengar bodoh di telinganya sendiri. Secara kenapa ia harus bertanya jika jawabannya sudah jelas begitu.

"Terus loe pikir, tu penjahat roboh gitu aja?" ucapan sinis itu tak urung membuat Airi meringis kesal. Ia menebak, sepertinya Kei tidak iklas ketika membantunya tadi. Namun belum sempat ia membalas, mulutnya sudah di buat bisu. Wajah Kei berada bergitu dekat dengan dirinya. Efek cape benar - benar membuat otaknya blank sehingga ia sama sekali tidak menyadari ketika pria itu mendekat.

"Dan jangan pernah perpikir sekali pun untuk mengulangi hal itu lagi. Ngerti?" bisik Kei tepat di depan wajahnya.

Ntah karena benar benar mengerti atau apa yang jelas kepala Airi mengangguk. Matanya yang bulat hanya mampu berkedap - kedip dengan mulut yang tetap terkunci. Kei sendiri juga masih tidak mengalihkan tatapannya.

"Bagus," gumam Kei sambil tersenyum. Untuk sejenak Airi yakin kalau kekesalannya menguap. Seumur hidup ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan senyuman dari pria yang sudah terkenal dengan keangkuhannya dalam jarak kurang dari sepuluh centi meter didepan wajahnya.

"Sekarang, ayo gue antar loe pulang."

Nah, lho... Ajakan itu secara tak langsung menyadarkan Airi dari keterpakuannya. Kei sudah berbalik, berjalan menjauh sementara dirinya masih tetap berdiri di tempat.

"Dia bengong. Buruan... Loe mau tidur disini?"

Bukan karena ia setuju untuk di antar makanya Airi mengikuti langkah Kei, tapi karena gadis itu tau kalau ini benar - benar sudah larut malam. Selain itu sebenernya ia juga penasaran ingin tau bagaimana ceritanya Kei tiba tiba datang membantu. Tambahan, sebenarnya ia juga tidak tau kini ia sedang ada di mana. Tadi ia berlari hanya karena mengikuti sang preman. Sekeliling gelap, bagaimana kalau tiba tiba muncul hantu? Membayangkan itu Airi bergidik.

"Kok loe tadi bisa bantuin gue?" tanya Airi sambil mensejarakan langkahnya.

Sekilas Kei menoleh baru kemudian kembali menatap kearah hadapan. "Mungkin karena kebetulan loe sedang beruntung. Gue pas lewat disini waktu liat loe lari ngejar penjahat kayak orang bodoh," gumam pria itu angkat bahu.

Airi mengangguk paham. Jadi begitu ceritanya. Tapi lima detik kemudian. "Tunggu dulu," langkahnya yang tiba - tiba terhenti membuat Kei secara otomatis juga mengentikan jalannya. Pria itu menatap heran kearah Airi yang tampak sedang berpikir. "Kalau gue inget kayaknya sedari tadi loe udah berulang kali ngatain gue bodoh, bego, stupid. Emangya loe pikir loe siapa?"

Kalimat lanjutan Airi barusan sontak membuat Kei tertawa. Berbanding balik dengan wajah Airi yang kini menatapnya kesel.

"Nggak usah sewot. Memang gitu kenyataannya," komentar Kei di sela tawanya. "Sekarang, ayo naik."

Lagi - lagi Airi tidak sadar kalau kini sebuah motor terparkir tak jauh darinya. Kei sendiri sedang memasangkan helm di kepala. Kali ini Airi menoleh kesekelilling. Mencari tau dimana ia berada. Terus terang ia masih merasa asing. Walau ia sudah keluar dari gang sempit, tapi arah jalan besar ia masih tidak tau dimana. Yang jelas di tempatnya berada sekarang mustahil ada angkot lewat.

"Loe mau nganterin gue?" tanya Airi dengan tatapan menyipit. Walau ia akui Kei tadi memang membantunya tapi ia kan belum tau apa modus disebaliknya. Terlebih juga image pria itu sudah terlanjur buruk.

"Loe bisa menolak kalau menurut loe tetap disini itu lebih baik," Kei angkat bahu. Sementara Airi masih berpikir.

"Tapi ini tuh udah hampir tengah malem lho," sambung pria itu sambil melirik jam yang melingkar di tangannya. Mau tak mau, Airi melakukan hal yang sama. Benar saja, waktu sudah menujukan pukul sebelas lewat sepertempat. "Dan lagi loe juga nggak tau kan ini dimana?" pertanyaan Kei membuat Airi makin dilema.

"Lama banget sih mikirnya," gerut Kei sambil turun kembali dari motornya. Berjalan mendekati Airi yang masih diam ditempat. Tanpa permisi di raihnya tangan Airi, memaksanya untuk naik kearah motornya.

"Nggak usah protes," potong Kei bahkan sebelum Airi buka mulut. "Ngejar penjahat yang jelas jelas bahaya loe sama sekali nggak ragu. Giliran di bantuin mikir mikir. Buruan, udah malam. Loe kendinginan kan?" sambil mengomel Kei melepaskan jaket yang di kenakannya baru kemudian membantu memasangkannya di tubuh Airi. Airi tau, harusnya ia menolak, namun yang terjadi justru malah sebaliknya. Gadis itu diam saja. Sepertinya efek kelelahan benar benar menguras habis sistem kerja otaknya.
"Oke, pengangan yang erat," saran Kei setelah Airi duduk di belakangnya. Airi mencibir, walau ia yakin Kei tidak melihatnya. Tanpa mendengarkan saran pria itu, ia meraba sisi belakang. Sialnya, tu motor mulus. Sama sekali tidak ada tempat untuk pegangan.

"Yang pertama, di belakang nggak ada pegangannya. Yang kedua, gue bukan tukang ojek. Jadi sekarang mending loe peluk gue. Dari pada loe entar jatuh. Mana loe nggak pake helm lagi."

"Berisik loe, udah jalan sana," kali ini Airi berhasil membalas.

Kei memutar mata. Ni cewek ternyata keras kepala. Setelah berpikir sejenak, sebuah senyum samar hinggap di wajahnya. Tentu saja, Airi tidak melihat itu. Selain karena ia di belakang, helm yang di kenakan juga menutupi wajah Kei. Tambahan, suasana remang karena memang sudah malam. Hanya sinar lampu jalan saja yang sedikit meberikan penerangan.

"Aaa..." belum lima menit berjalan, sebuah teriakan keluar dari mulut Airi. Tangannya tanpa di komando melingkari leher Kei yang nyaris menyekiknya. Jantung Airi masih berdebar cepat ketika motor kembali berhenti. Kei ternyata benar - benar brengsek. Pria itu pasti sengaja mengerem mendadak. Membuat tubuhnya langsung menabrak punggung pria itu.

"Pegangan itu bukan disini," kata Kei sambil melepaskan tangan Airi dari leher baru kemudian memindahkannya untuk melingar di pinggang. "Tapi disini."

Dongkol membuat Airi ingin memaki sekencangnya. Sayangnya kesempatan itu tidak ada, karena Kei langsung tancap gas. Terlebih dengan body motor yang sedemikian rupa, membuat tubuh Airi benar benar menempel di pungungnya. Bahkan pria itu sengaja melajukan motornya. Membuat Airi tidak punya pilihan lain selain mengeratkan pelukan. Apalagi ia memang tidak pernah naik motor _ tidak dengan kecepatan seperti itu. Sepanjang perjalanan ia bahkan menutup mata.

"Rumah loe dimana?"

Pertanyaan Kei menyadarkan Airi. Membuat Airi berpikir, apa sebaiknya ia menjawab pertanyaan pria itu atau justru malah memakinya.

"Alamat rumah loe dimana?" untuk kedua kalinya Kei mengulang pertanyaannya. Laju motor juga sedikit berkurang dari sebelumnya.

"Perum. Cendana nomor 101," akhirnya Airi memilih untuk menjawab pertanyaan itu.

"Itu dimana?" tanya Kei lagi.

Airi tidak menjawab. Kepalanya justru malah sibuk meperhatikan jalanan. Mencari tau ia dimana karena sedari tadi ia memang memejamkan mata. Merasa familiar dengan tempat itu ia menjawab.

"Dari sini lurus aja, di lampu merah depan belok kiri."

Kei tidak membalas, pria itu kembali melajukan motornya. Sesuai interuksi dari Airi, tepat lampu merah ia belok kiri.

"Di depan ada lorong, belok kiri."

"Apa?"

Airi awalnya ragu, tapi kemudian ia mendekatkan wajahnya kearah telinga Kei yang tertutup helm. "Lorong depan belok kiri," teriaknya kencang yakin kalau kali ini Kei pasti mendengar ucapannya.

"Oke," balas Kei. Diam diam pria itu tersenyum, tapi tentu saja Airi tidak tau. Gadis itu bahkan sama sekali tidak curiga bahwa Kei hanya pura pura tidak mendengar teriakannya yang pertama.

"Jadi loe tinggal disini?" tanya Kei ketika motornya berhenti di depan sebuah rumah besar bercat kuning. Kepala pria itu mengawasi sekeliling. Segera mengerti kalau itu adalah rumah kostan.

"Loe itu beneran brengsek ya," sembur Airi begitu turun dari motornya. Teriakan itu tak urung membuat sebelah alis Kei terangkat tanda heran. Pertama, itu bukan jawaban dari pertanyaannya. Kedua, ia yakin kalau sedari tadi yang ia lakukan adalah membantu gadis itu. Sesuatu yang ia sendiri heran kenapa ia mau lakukan. Ketiga, bukannya dimana mana orang akan berterima kasih ya?

"Loe sengaja kan pake motor laju begitu biar gue meluk loe?"

Tuduhan itu tak urung membuat Kei tersenyum. Jadi itu alasannya? Ide jahil terlintas di kepala.

"Loe kan udah pake jaket gue. Loe nggak tau apa, angin malam itu beneran dingin. Ya wajar donk kalau gue butuh sesuatu yang hangat," jawaban itu tak urung membuat Airi melongo. Benar dugaannya, pria tu sengaja. Kei adalah tipe cowok rese. "Dan ternyata aset loe boleh juga."

"Loe..." Airi kehabisan kata - kata untuk membalasnya. Selain kesel, ia juga malu. Selama ini ia tidak pernah dekat dengan pria mana pun. Bahkan, sampai kedua sahabatnya sering meledek karena hal itu.

"Jangan teriak teriak, nanti tetangga pada dengar. Ini sudah malam tau," senyum Kei mengiringi ucapannya. Mempertegas kalau kekesalan Airi sama sekali tidak berpengaruh pada dirinya, tangan pria itu terulur. Mengusap lembut kepala Airi sembari mulutnya bergumam. "Sekarang mending loe masuk. Gue cabut dulu. Sampai ketemu."

Airi masih berdiri di tempat, bahkan setelah Kei hilang dari pandangan. Ia tidak yakin kalau kejadian yang di alaminya malam ini adalah nyata. Akhirnya dengan pikiran yang masih melayang layang ia melangkah masuk kedalam rumah.

Next To Cerpen Remaja Terbaru That Girl is Mine Part 03

Detail Cerbung
Ana Merya
Ana Merya ~ Aku adalah apa yang aku pikirkan ~

2 comments for "Cerpen Remaja Terbaru "That Girl is mine" ~ 02"

  1. nama karakternya kok kayak nama idku hahahaha #kepedan kkwkw

    ReplyDelete
  2. Ngebayangin situasi airi dikepung preman malem" di jalan sempit remang" jadi ikut gemetaran. 😂😂

    ReplyDelete

Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...