Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 06 / 10

Nggak sadar udah masuk bulan baru, eh tapi postingan baru belom muncul juga. Hadee. So yo wes, kali ini admin muncul dengan lanjutan cerpen {Bukan} sahabat jadi cinta part 6. Kira kira ada yang penasaran nggak si sama lanjutan ceritanya? Kalau iya mendingan langsung baca aja deh. Ngomong ngomong, karena ni cerita lanjutannya rada lama baru muncul phan kali aja udah lupa sama cerita sebelumnya. So bisa langsung di cek disini.

Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta

Arsyil tanpak mengantungkan ucapannya, matanya menatap lurus kearah Ishida yang juga sedang menatapnya. Menanti kalimat lanjutan dari pria itu. Tapi pria itu masih terdiam sampai kemudian mulutnya kembali terbuka.

“Ishida, sebenernya selama ini loe anggap gue itu apa sih?”

“Ya?” Ishida mengernyi. Tidak menduga kalau pembicaraan mereka akan berbelok setajam ini. Padahal tadinya ia sudah sangat berharap mendengar pengakuan jujur dari mulut Arsyil.

“Maksut loe?” tanya Ishida lagi tapi Arsyil memilih bungkam. Menanti jawaban dari Ishida yang ia yakini mendengar pertanyaannya.

“Kenapa loe tiba – tiba nanya kayak gitu?” tanya Ishida kemudian.

Kepala Arsyil mengeleng. “Bisa nggak loe jawab aja pertanyaan gue tanpa perlu nanya balik?”
Ishida sedikit mengernyit mendengarnya. Terlebih ketika menyadari raut seirus di wajah Arsyil. Setelah jeda sejenak guna menarik nafas dalam, Ishida menjawab.

“Tentu aja loe itu sahabat gue. Dari dulu sampe sekarang loe itu adalah sahabat gue. Jadi…”

“Gimana kalau gue nggak mau jadi sahabat loe?” potong Arsyil cepat.

“Ya?!” tidak ada yang bisa Ishida lakukan selain memberikan ekpresi kaget di wajahnya.

“Enggak,” Arsyil tanpak mengeleng – gelengkan kepalanya. “Maksut gue, gimana kalau mulai sekarang gue nggak mau lagi jadi sahabat loe?” tambah Arsyil lagi.

Ishida terdiam walau mulutnya sempat tebuka, namun tiada kata yang terlontar. Sepertinya ia cukup terkejut dengan apa yang baru saja di dengar olehnya.

“Kenapa?” tanya Ishida lirih, nyaris tak terdengar.

“He, kenapa?” ulang Arsyil tanpak mencibir. Entah itu mencibir Ishida atau justru mencibir dirinya sendiri. “Loe beneran pengen tau kenapa?”

Sejenak Ishida menoleh kearah Arsyil sebelum kemudian kepalanya mengeleng berlahan. Walau dadanya terasa sesak dan matanya terasa sedikit perih, namun bibirnya masih mampu melontarkan sebuah senyum. Senyuman yang Ishida sendiri tidak tau dari mana asalnya.

“Jadi loe bener bener berharap kalau persahabatan kita berakhir?”

Arsyil yang tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu gantian pasang tanpang terkejut. Sungguh, bukan reaksi seperti ini yang ia inginkan. Walau ia juga tidak tau ia berharap gadis yang berada dihadapannya akan bereaksi seperti apa.

“YA!” Arsyil sendiri hampir tidak mempercayai kalimat tegas yang baru saja meluncur dari mulutnya sendiri.

“Oke deh kalau gitu, gue setuju.”

Seiring dengan kalimat Ishida barusan, suasana mendadak hening dan sepi. Masing – masing tengelam dalam pemikirannya sendiri. Sampai kemudian Arsyil kembali memecah kesunyian.

“Kalau gitu gue pulang dulu. Ma kasih atas jamuan makan siang nya.”

Ishida hanya membalas dengan anggukan kepala. Tanpa kata lagi, Arsyil segera berlalu. Melangkah meninggalkan Ishida yang masih terduduk dalam diam. Bahkan sampai suara pintu yang tertutup, Ishida masih berada dalam posisi yang sama. Barulah setelah terdengar bunyi motor yang meninggalkan rumahnya, tubuh Ishida sedikit bereaksi. Kepalanya menoleh kearah pintu. Yakin kalau yang terjadi barusan bukanlah mimpi. Secara berlahan tangannya mengusap pipi yang entah sejak kapan terlihat basah oleh air mata. Dadanya terasa sesak. Dengan berlahan di hembuskannya nafas dalam dalam sebelum kemudian mulutnya bergumam lirih.

“Gue emang pernah berharap kalau persahabatan kita bisa berakhir, tapi gue nggak pernah berharap kalau akhirnya jadi kayak gini.”Deringan suara telpon yang bordering nyaring menyadarkan Ishida dari lamunannya. Dan gadis itu baru menyadari kalau ternyata sedari tadi ia masih duduk diam. Entah berapa lama ia berada dalam posisi itu, yang jelas sepertinya itu sudah cukup lama. Lebih dari cukup untuk membuat tubuhnya terasa pegal, terlebih ketika matanya menoleh kearah jam di dinding. Waktu sudah menunjukan hampir pukul 5 sore. Wah hebat, sepertinya ini akan jadi record terlamanya yang bisa menghabiskan waktu tanpa perlu melakukan apapun.

Sebelum deringan itu benar – benar berhenti, dengan cepat Ishida menyambar gangang telponnya.

“Halo?”

“Ishida?” suara yang Ishida kenalai sebagai miliki mamanya terdengar dari seberang.

“Iya ma?”

“Kamu kemana aja, mama telpon kehanphon kamu sedari tadi kenapa nggak diangkat?”

Handphon? Pikiran Ishida segera bekerja mengingat benda itu. Dan gadis itu segera menyadari kalau benda itu masih berada di kamarnya.

“Oh handphon Ishida di kamar ma. Nggak kedengeran, soalnya Ishida lagi nonton TV di luar. Emangnya ada apa ma?”

“Kirain kamu kemana. Ya sudah. Mama cuma mau ngasi tau. Kalau malam ini mama sama papa nggak pulang. Masih ada kerjaan yang harus di selesaikan. Tadi mama sudah telpon kakakmu untuk langsung pulang setelah kuliah biar kamu nggak di rumah sendirian.”

“Iya ma,” balas Ishida sambil mengangguk. Sama sekali tidak terkejut dengan berita yang ia dengar. Terlebih hal itu adalah hal yang biasa di lakukan orang tuanya.

“Ya sudah. Hati – hati dirumah.”

Lagi – lagi Ishida hanya membenarkan. Setelah berbicara untuk beberapa saat sambungan pun diputus. Mata gadis itu mengamati sekeliling. Tubuhnya benar – benar terasa lemas. Sama sekali tidak bertenaga. Tapi gadis itu tetap yakin, kalau hal itu bukan karena ia terlalu lama duduk berdiam diri. Akhirnya walaupun dengan berat hati, Ishida bangkit berdiri, berjalan menuju kearah kamarnya. Sepertinya mandi sore bisa membantu memulihkan tenaganya.

Selesai mandi dan berpakaian rapi, Ishida kembali keluar dari kamar. Matanya mengamati sekeliling. Rumah masih terlihat sepi. Hanya saja lampu diruang sudah menyala, menandakan kalau sudah ada seseorang yang masuk kedalam rumahnya. Dugaan gadis itu segera beralih kearah kakaknya.

“Kak Vano,” kata Ishida sambil mengetuk – ngetuk pintu kamar kakaknya tapi tidak ada jawaban. Dengan berlahan, Ishida memutar knop pintu yang langsung terbuka karena tidak di kunci. Kepala gadis itu segera melongok kedalam. Sepi, hanya terdengar gemerci keran air dari dalam kamar mandi. Tanpa kata Ishida kembali menutup pintu kamarnya. Berjalan menuju kearah dapur guna menyiapkan makan malam karena Bi Inah, pembantu rumahnya izin pulang kampung tadi siang.

Tepat saat makanan tertata rapi di hadapan, Vano muncul dengan setelan santainya. Ishida hanya menoleh sekilas sebelum kembali melanjutkan aksinya menyiapkan air minum.

“Wah, ada ayam goreng. Hemz, enak nih kayaknya. Gitu donk, baru namanya adik gue. Udah cantik, baik, pinter masak lagi…” puji Vano sambil menyambar paha ayam dan langsung melahapnya sebelum kemudian meraih piring yang di sodorkan padanya.

“Tapi sayang, udah oke gitu tapi tetep aja masih jomblo,” lanjut Vano yang langsung mendapat lirikan tajam adiknya. Tapi pria itu hanya angkat bahu, pasang tanpang polos di wajahnya.

“Itu karena gue nunggu Arief Muhammad nembak gue,” balas Ishida kemudian.“Hem?” Vano tanpak mengernyit. Matanya menatap kearah adiknya yang kini mulai menikmati makanannya tanpa menoleh kearahnya sama sekali. Arief Muhammad? Kayak pernah denger tuh nama.

“Dia siapa? Temen sekolah loe?” tanya Vano lagi.

“Ish, kuper banget sih. Masa Arief Muhammad nggak kenal. Makanya twitteran,” cela Ishida yang makin membuat Vano bingung.

“Tunggu dulu. Maksut loe Arief Muhammad yang itu. Yang pocong juga pocong?” tanya Vano heran.

Ishida mengangguk membenarkan. “Doi kan juga jomblo. Emmmp, tapi sekarang masih jomlo nggak ya?” gumam Ishida sambil pasang pose berpikir.

“Eh busyed. Bangun woi. Ngayal aja. Loe beneran ada di dunia ini aja doi nggak tau, boro boro mau nembak,” Vano gantian mencela, kali ini Ishida hanya tertawa menanggapinya. Lagian, siapa suruh ngeledekin statusnya.

“Dengerin nasehat gue ni ya, dari pada loe nungguin si Arief yang entah ada di mana dan sama siapa, mendingan juga loe jadian tuh sama si Arysil. Perasaan udah lengket kayak prangko masih aja tetep status ‘temenan’. Cih, apa apaan itu.”

Mendengar nama Arysil yang di sebutkan kakaknya, mau tak mau kembali mengingatkan Ishida akan apa yang pria itu katakan tadi. Membuat tenggorokannya terasa seret, dengan segera diraihnya air yang ada digelas dan segera meneguknya.

“Lah, loe malah diem aja. Gue serius tau. Lagian kalau loe sama dia, gue juga dukung kok. Secara tu anak kan baik. Tampangnya juga oke. So apalagi.”

“Alah, bilang aja mau gue jadian sama dia biar jelas kalau loe nggak perlu nganter jemput gue sekolah. Iya kan?”

“Tepat, emang itu salah satunya,” tunjuk Vano mantap membuat Ishida lagi lagi mencibir.

“Kakak apa – apaan sih. Kan kemaren dulu gue udah bilang, kalau Arsyil itu udah punya cewek yang dia suka,” kata Ishida lirih sambil mulai kembali menyantap makanannya.

Kali ini gantian Vano yang terdiam. Tidak langsung membalas justru matanya malah mengamati tingkah laku sang adik. “Loe serius?” tanya Vano dengan raut serius, tapi Ishida sama hanya membalas dengan angkat bahu.

“Terus loe gimana?” tanya Vano lagi.

“Ya emangnya gue kenapa?”

“Loe yakin kalau loe nggak kenapa – kenapa kalau Arsyil jadian sama cewek lain?”

Ishida tidak langsung menjawab walau sebelah bibirnya tanpak terangkat membentuk sebuah senyuman samar. Senyuman sinis lebih tepatnya. “Selain fakta kalau gue udah nggak bisa pulang pergi bareng dia lagi, kayaknya gue nggak baik – baik aja. Akh, palingan gue jadi ngereponin loe lagi buat jadi sopir gue lagi.”

Vano tanpak sedikit mengernyit mengamati raut adiknya. Gadis itu sama sekali tidak menatap kearahnya justru malah terlihat menikmati makanannya. Akhirnya Vano hanya mampu angkat bahu sambil mulutnya bergumam. “Syukur lah kalau emang gitu.”

Next part {Bukan} Sahabat Jadi Cinta 07

Detail Cerpen
Ana Merya
Ana Merya ~ Aku adalah apa yang aku pikirkan ~

Post a Comment for "Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 06 / 10"