Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 03 / 10

Berhubung yang lagi lancar ide ngetik soal cerpen {Bukan} sahabat jadi cinta so cerita yang satu ini dulu ya yang di lanjutin. Cerpen lainnya ntar nyusul. He he he. Lagian, kalau nggak buru - buru di ketik takudnya ide berubah atau yang paling parah malah ngilang. #cius.

Nah, ngomong - ngomong gimana sih kelanjutannya. Simak langsung aja yuks. And biar nyambung sama jalan ceritanya mendingan baca bagian sebelumnya terlebih dahulu. Untuk mempermudah admin sengaja kali linknya yang bisa langsung di baca disini.

Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 03

Begitu turun dari motor yang di kendarai kakaknya, Ishida segera melangkah masuk kehalaman sekolah. Hari ini memang hari minggu. Tapi Ishida tetap datang kesekolaah karena ada pertandingan sepak bola antara SMA nya melawan SMA PEMDA. Yah, hanya pertandingan persahabatan biasa sih. Tapi tetap saja Ishida tidak pernah alpa untuk menyaksikannya. Lagipula biasanya Asryil pasti akan memaksanya untuk nonton. Pria itu kan ikut dalam tim kesebelasan sekolah.

Dan ngomong – ngomong soal Arsyil, hari ini ia tidak di jemput. Ishida tidak tau kenapa hanya saja pria itu bilang ia sedang ada urusan. Jadi mau tak mau

Ishida terpaksa meminta kakaknya untuk mengantar karena ia sendiri belum punya SIM untuk bisa berangkat sendiri.

“Ishida!”

Merasa namanya di panggil, Ishida menoleh. Seulas senyum mengembang di bibirnya saat melihat lambaian tangan Arumy. Dengan segera ia belari menghampiri.

“Kok loe sendiri. Arsyil mana?” tanya Arumy begitu Ishida sudah berdiri dihadapannya. Gadis itu sendiri sengaja clingak clinguk mencari makhluk yang baru saja di tanyakannya.

“Nggak tau. Gue nggak bareng sama dia.”

“Ha?” Arumy menoleh. Ishida hanya angkat bahu.

“Tapi kan pertandingan udah mau di mulai. Masa tu anak nggak datang.”

“Dia bukan nggak datang Arumy. Gue bilang dia nggak bareng gue. Udah masuk yuk,” kata Ishida sambil menarik tangan Arumy untuk segera melangkah kearah lapangan sekolah.

Saat melihat kesekeliling suasana sudah cukup ramai. Sepertinya Arumy benar. Pertandingan sudah akan di mulai. Ishida segera mengedarkan pandangannya kearah lapangan. Menatap para pemain satu persatu. Saat menemukan sosok yang ia cari, gadis itu hanya menghela nafas singkat.

“Akh loe bener. Itu Arsyil sudah di lapangan,” tunjuk Arumy.

Ishida hanya membalas dengan anggukan. Kemudian mengisaratkan sahabatnya untuk mencari tempat yang pewe untuk menonton.

Seiring waktu berlalu, sorakan penonton riuh mengiringi jalannya pertandingan. Ishida sendiri hanya melihat tanpa ikut bersorak. Lagi pula, sejujurnya ia tidak menyukai permainan yang satu ini. Satu – satunya alasan kenapa selama ini menonton adalah karena Arsyil selalu memaksanya.

“Akhirnya sekolah kita menang lagi,” kata Arumy sambil tersenyum puas. “Kita cari Arsyil yuk. Dia tadi yang udah nyetak gol dua kali soalnya.”

Ishida ingin menolak, tapi Arumy sudah terlebih dahulu menyeretnya. Dengan terpaksa ia manut.

“Ngomong – ngomong Arsyil mana ya?” gumam Arumy sambil mengedarkan pandangan kearah orang – orang yang berada di sana. Ishida tidak menjawab, namun tak urung ia melakukan hal yang sama seperti gadis itu.

“Itu dia,” kata Ishida yang pertama sekali menemukan Arsyil yang tanpak sedang duduk karena kelelahan.

“Oh iya, kita hampiri yuk.”

“Tunggu,” kata Ishida sambil menahan tangan Arumy sebelum gadis itu sempat menyeretnya lagi.

“Kenapa?” tanya Arumy heran.

Tanpa menjawab Ishida memberi isarat kearah Arumy agar melihat kearah yang di maksut.

“OMG, itu kan Laura,” kata Arumy kaget. Saat itu matanya menangkap kearah sosok Laura yang sedang berjalan menuju kearah Arsyil. Keduanya terlihat ngobrol di kejauhan. Laura sendiri tampak sedang menyodorkan air didalam botol yang langsung di sambut oleh Arsyil yang pasti sedang kehausan.

“Jadi mereka beneran kencan ya?” gumam Arumy lirih.

“Kayaknya sih. Sudah deh. Kita biarin aja.”

“Tapi kan…”

“Ishida!”

Kalimat Arumy mengantung begitu saja seiring dengan kalimat teriakan yang mampir di telinganya. Dengan segera ia menoleh. Hal yang sama di lakukan oleh Ishida. Gadis itu tanpak mengernyit saat melihat sosok pria yang berjalan kearahnya.

“Hai,” sapa Ishida setelah mengenali siapa dia, senyum pun bertenger di bibirnya.

“Jadi loe sekolah disini?” tanya pria itu lagi.

Kepala Ishida mengangguk membenarkan. “Gue baru tau kalau loe ikutan main tadi.”

“Akh elo. Masa orang secakep gue sedari tadi main loe nggak nyadar.”

Ishida hanya tertawa mendengarnya.

“Ehem ehem.”

Refkes Ishida menoleh. Dan baru menyadari kalau Arumy masih ada di sampingnya.

“Oh iya hampir aja gue lupa. Kenalin ini Arumy, temen gue. Dan Arumy kenalin ini Reihan, temen les gue.”

“Reihan,” kata sosok yang mengaku bernama Reihan sambil mengulurkan tangannya yang langsung di sambut oleh Arumy.

“Arumy.”

“Tapi barusan loe bilang apa? Temen les? Les apaan?” tanya Arumy beberpa saat kemudian.

“Les bahasa inggris. Yah secara gue kan nggak sepinter loe. Dan berhubung kita udah kelas tiga, nyokap gue emang nyuruh gue buat les.”

“Oh ya? Kok loe nggak pernah bilang.”

“Gue lupa kali, secara kan nggak penting – penting amat. Lagian gue juga baru masuk sekitar dua minggu ini.”

“Ooo..” Arumy tanpak mengangguk – angguk membenarkan.

“Eh, habis ini kalian berdua mau kemana?” tanya Reihan beberapa saat kemudian.

“Langsung pulang donk. Jemputan gue aja udah di depan,” kata Arumy setelah sebelumnya melirik hanphonnya yang beberapa saat yang lalu bergetar.

“Ya sudah. Kalau gitu loe duluan deh. Gue juga mau langsung pulang kok. Cuma gue masih harus nunggu kakak gue jemput,” balas Ishida.

“Kalau gitu gue duluan ya. Sebelum kakak gue marah marah. Loe tau sendiri kan dia orangnya gimana. Daaa…” pamit Arumy sambil berlalu.

“Jadi loe belum di jemput?” tanya Reihan sepeninggalan Arumy.

Ishida menggelang. “Belum. Kakak gue bilang dia masih ada urusan. Jadi gue masih harus nunggu bentar lagi.”

“Kalau gitu gimana kalau gue anterin?”

“Ya?”

Reihan tersenyum. “Tenang aja. Itu bukan karena gue naksir elo kok. Cuma kebetulan gue juga nggak ada kegiatan lagi. Lagian gue juga naik motor sendirian.”

Ishida terdiam. Sibuk mencerna tawaran yang ia dapatkan barusan. Kalau menunggu kakaknya juga belum tentu pria itu segera datang.

“Oh, atau sudah ada pacar loe yang mau nganterin?” tanya Reihan saat melihat Ishida yang terdiam.

“Nggak nggak nggak. Gue cuma nggak mau ngerepotin. Tapi kalau emang loe maksa. Oke deh kita pulang bareng.”

“Gue bukan maksa, tapi gue cuma nawarin,” Reihan meralat. Ishida hanya membalas dengan tawa sebelum kemudian keduanya beriringan berjalan kearah parkiran. Selang beberapa saat kemudian keduanya sudah melaju di jalan raya. Senin pagi. Arsyil sudah duduk santai diatas motornya. Sesekali ia melirik jam yang melingkar di tangannya, sudah lewat 15 menit dari kebiasaannya berangkat sekolah. Matanya menatap kearah pintu depan pagar rumahnya. Antara belok kekanan atau kekiri. Jika kekanan, maka ia akan langsung menuju kesekolah. Jika kekiri ia akan melewati rumah Ishida dulu baru kesekolah. Jalan yang selama ini ia lewati.

Namun kali ini, Arsyil merasa ragu. Setelah tadi malam ia tidak bisa tidur karena memikirkan kejadian sebelumnya. Hari minggu kemaren, ia tidak berangkat kesekolah bareng Ishida dan memilih berangkat sendiri. Berharap Ishida akan menghampirnya tapi justru gadis itu malah pergi dengan pria lain yang ia tidak ketahui siapa. Tambahan lagi, gadis itu bahkan sama sekali tidak merasa terganggu dengan gossip mengenai dirinya. Entah kenapa, hal itu membuatnya sedikit banyak merasa marah.

Akhirnya setelah meyakinkan diri, Arsyil mulai melajukan motornya dan memilih membelokan motornya kearah kanan. Apalagi Ishida juga sama sekali tidak menghubunginya.

Begitu tiba di halaman sekolah, Arsyil tidak langsung menuju kekelas. Pria itu lebih memilih duduk diatas motor dengan tatapan yang terjurus lurus kearah handphon yang ada dalam gengamannya. Sedari tadi ia menanti namun benda itu tetap terdiam. Sama sekali tidak ada tanda – tanda ada panggilan ataupun pesan masuk. Padahal sebentar lagi bel akan berbunyi.

Selang beberapa saat ketika ia tanpa sengaja mengendarkan padangan kesekeliling, ia menatap seseorang yang melangkah masuk melewati pintu pagar sekolah dengan santainya. Gadis itu terus melangkah bahkan sama sekali tidak menoleh kearahnya. Arsyil hanya mampu menghela nafas sebelum kemudian bangkit berdiri untuk menuju kekelasnya sendiri.

Begitu tiba waktu istriahat, Ishida tidak langsung menuju kekantin seperti biasanya. Bahkan gadis itu menolak tawaran makan gratis yang diberikan Arumy yang berjanji untuk mentraktirnya hari ini. Ishida lebih memilih untuk mencari Arsyil diam diam karena ia pamit dari Arumy ia harus ke perpustakaan.
Setelah mencari kesana kemari, bahkan Ishida benar – benar mengunjungi perpustakaan, ia tetap masih belum menumakan orang yang di carinya. Setelah memutuskan untuk menyerah dan memilih menyusul Arumy, langkah Ishida terhenti. Matanya menangkap sosok seseorang yang sedang duduk bersandar dibawah pohon jambu dengan seluruh wajahnya yang tertutupi buku yang terbuka di hadapannya. Berpose layaknya orang tidur.

Secara berlahan Ishida berjalan menghampiri. Ia yakin kalau ia mengenali siluet pria tersebut. Dengan hati – hati tangan Ishida terulur untuk membuka buku guna mengintip wajah dibaliknya.

“Ishida?”

Melihat raut terkejut itu, Ishida sama sekali tidak merasa terganggu. Senyum mengembang di bibirnya. Seperti dugaannya tadi. Orang itu adalah Arsyil. Kemudian dengan santai Ishida duduk disampingnya.

“Barusan itu loe beneran tidur?”

“Cuma tiduran,” balas Arsyil sambil membetulkan letak duduknya yang kini lebih tegap. “Ada apa?”

Kepala Ishida mengeleng. “Nggak papa sih. Cuma…”

“Cuma?” kejar Arsyil karena Ishida mengantungkan ucapannya.

“Cuma gue mau nanya, kenapa tadi pagi loe nggak jemput gue?” tanya Ishida lagi.

Arsyil tidak segera menjawab. Tangannya terulur untuk mencabut tubuhan ilalang tak berdosa yang tumbuh di dekatnya. Memain – mainkan daun tersebut dalam diam. Setelah beberapa saat kemudian mulutnya berkata.

“Kayaknya kita nggak bisa pergi sekolah bareng lagi deh.”

Ishida menoleh. Menatap lurus kearah Arsyil, namun pria itu sama sekali tidak menoleh kearahnnya. Perhatiannya ia fokuskan pada ilalang di tangan. Seolah oleh benda tersebut benar – benar menarik untuknya.

“Loe jangan salah paham dulu. Itu bukan karena gue keberatan barengan sama loe. Tapi sekarang, tiap pagi gue harus berangkat bareng sama adik gue. Maksutnya gue sekalian nganterin dia biar nyokap gue nggak bolak balik.”

Ishida terdiam sebelum kemudian mengangguk – angguk paham. Ia tau kalau Arsyil memang punya seorang adik yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Tapi setau Ishida selama ini adiknya selalu diantar jemput oleh sang mama. Kenapa tiba – tiba jadi Arsyil yang mengambil alih.

“O.. Kalau memang karena itu nggak papa kok,” balas Ishida sambil tersenyum.

Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Dan untuk pertama kalinya, Ishida merasa kalau atmosfier di antara mereka terasa jangal. Ia merasa canggung. Benar – benar tidak seperti biasanya.

“Eh iya Ar, gue laper nih. Kita kekantin yuk,” ajak Ishida kemudian.

“Loe duluan aja. Gue masih ngantuk. Ntar gue nyusul,” tolak Arsyil.

Ishida kembali terdiam. Setelah berpikir sejenak gadis itu bangkit berdiri. “Ya sudah deh, kalau gitu gue duluan ya.”

Arsyil hanya membalas dengan anggukan. Dengan berlahan Ishida melangkah meninggalkan Arsyil yang kini kembali berpose seperti sebelum kedatangannya. Saat telah sampai di belokan lorong menuju kantin, Ishida kembali menoleh kebelakang. Menatap kearah Arsyil yang menyembunyikan wajahnya di balik buku. Tanpa sadar Ishida menghebuskan nafas lelah. Dia tidak tu, hanya perasaannya saja atau memang Arsyil terlihat menghindarinya. Entahlah, ia sendiri tidak tau kesalahan apa yang ia lakukan. Tak ingin memikirkan itu lebih jauh Ishida kembali melanjutkan langkahnya.

Next part {Bukan} Sahabat Jadi Cinta 04

Detail Cerpen
Ana Merya
Ana Merya ~ Aku adalah apa yang aku pikirkan ~

Post a Comment for "Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 03 / 10"