Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen Cinta Rasa Yang Tertinggal ~ 01 / 05

Iseng lambai ke kamera sembari tebar senyuman. Ketemu lagi bareng admin. Kali ini muncul dengan cerpen cinta Rasa yang tertinggal. Cerpen kali ini terinspirasi dari salah satu lagu milik band indo yang emang admin suka lagu lagunya. Tepatnya Kangen band. Judul lagunya yang mana, yang mana aja boleh XD. So, biar nggak kebanyakan obrolan, kita langsung skip ke cerita aja ya. Happy reading.

Credit Gambar : Ana Merya

"Fan, loe mau kemana? langsung pulang kan?" tanya Alan masih dengan napas ngos - ngosan sehabis berlari. Begitu Pak budi meninggalkan kelas, ia memang langsung meluncur ke kelas Tifani. Sedikit kecewa begitu mendapati kelas sahabatnya itu telah kosong. Karena itu tanpa basa - basi ia langsung meluncur menuju keparkiran. Sesuai dugaan, temannya ada disana.

"Rencananya si gue pengen ngadain jumpa pers dulu. Ya maklum lah, gue kan artis yang lagi naik pohon," Tifani ngebanyol lengkap dengan gaya narsisnya. Lagian, hari gini orang emang kebanyakan suka gitu ya. Suka melemparkan pertanyaan padahal jawabannya sudah jelas.

"Lebay," cibir Alan sewot sambil menoyor kepala Tifani yang malah ngakak.

"Lagian loe, udah tau kalau gue biasanya juga langsung pulang ngapain si pake nanyain lagi?"

Alan hanya nyegir mendengarnya. Sementara tangannya sibuk merogoh kedalam tas ransel, sibuk mencari -cari sesuatu. Seulas senyum terukir manis di sudut bibirnya ketika ia menemukan apa yang ia cari. Sebatang coklat yang langsung ia sodorkan tepat kewajah Tifany yang sedari tadi hanya memperhatikan gerak geriknya.

"Buat gue?" tanya Tifany polos.

"Sembarangan," semprot Alan cepat. "Kayak nggak tau aja. Biasa. Ini tu titipan dari gue buat pujaan hati. Sekalian sampaikan padanya salam rindu penuh cinta Yang terbungkus dalam sebatang coklat," sambung Alan sok puitis. Tifany justru pasang pose mau muntah.

"Cinta kok cuma ngasi coklat. Bunga kek," cibirnya. Namun tak urung, coklat tersebut ia ambil juga.

"Memangnya Septia suka bunga?" tanya Alan yang tak sengaja mendengar cibirannya. Kalau di pikir Tifany bener juga. Cewek kan biasanya suka bunga. Tapi setelah searching di google, banyak juga yang suka coklat. Bahkan, gadis yang kini berdiri tepat di hadapannya adalah salah satunya.

"Yupz...." angguk Tifany mempertegas pendapatnya. "Apalagi bunga bank. Ah, Gue juga mau kalau gitu," sambungnya yang langsung di hadiahi jitakan di kepala.

"Sorry ya. Septia bukan loe, dia nggak matre," gerut Alan. "Dan asal loe tau aja dalam setiap batang coklat yang gue kirimkan selama ini terselipkan sejuta cinta yang gue punya," sambung pria itu dengan gaya nya yang khas. Khas lebay maksutnya.

Mendengar itu Tifany. Sekaligus ia juga kesel karena kepalanya di jitak dengan semena - mena. Sambil mengusap - usap kepalanya mulutnya mengerutu "Tu coklat kan gue yang makan, pantesan aja gue makin cinta sama loe."

"Apa?" tanya Alan karena Gumaman Tifany terlalu kecil untuk bisa ditangkap indra pendengaranya.

"Kereta Api yang udah lewat nggak bisa balik lagi," Tifany angkat bahu. Sementara Alan masih menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat.

"Lagian kalau loe emang naksir berat plus cinta hidup sama dia kenapa nggak ngomong langsung aja si?" tanya Tifany berusaha mengalihkan pembicaraan. Lagipula ia tidak berharap Alan mendengar gumamannya barusan. Toh, tidak ada gunanya. Tidak ada yang akan berubah.

Kali ini Alan tersenyum. Matanya menatap kearah Tifany yang masih menantikan jawabannya. "Soalnya kalau kayak gini kan lebih romantis."

Jawaban itu tak urung membuat Tifany kembali mencibir. "Wuek.... Loe bener - bener bikin gue mau muntah."

"Ih, loe kok gitu si? Loe kan sahabat gue. Harus nya loe ngedukung gue donk buat dapatin dia. Secara gue udah bosen ngejomblo. Dan lagi..."

"Iya bawel. Udah deh, udah siang ini. Iya, ntar gue sampein. Sekarang gue cabut dulu," potong Tifani. Tanpa menunggu balasan ia segera mengayuh sepedanya menjauh, meninggalkan Alan yang masih berdiri di tempat.

Sambil terus mengayuh, Tifany menghela nafas. Sebelah tangannya terangkat menyentuh dada kirinya yang terasa sesak. Sahabat?. Selalu begitu. Andaikan Alan tau rasa sakit yang selama ini Tifany rasakan ketika mendengar satu kata itu yang keluar dari mulutnya. Karena sesungguhnya tifany menyukai Alan yang telah bersama dari semenjak 6 tahun yang lalu dan harus terpaksa menerima kenyataan kalau orang yang disukainya ternyata menyukai sahabatnya sendiri sejak dua bulan yang lalu. Septia. Seorang yang tidak sengaja ia kenalkan pada Alan saat Alan berkunjung ke kostannya.

Dan ini lah rutinitasnya setiap hari. Kurir cokelat. Tapi Untunglah sampai saat ini rasa sakit itu masih bisa dan mampu ia tahan. Apalagi melihat rekasi cuek bin dingin Septia selama ini yang tidak pernah sekali pun menerima cokelat pemberian Alan sehingga selama ini selalu berakhir masuk kedalam perutnya.

Setelah memarkir sepedanya, Tifany melangkah masuk kedalam rumah. Sepi, sepertinya penghuni kostan juga sedang pada keluar. Tangannya terulur memutar knop pintu nomor 7, tidak terkunci. Itu artinya, Septia, rekan sekamarnya ada di sana.

"Gue kan udah berulang - ulang - ulang - ulang kali bilang ke elo. Gue nggak mau coklat dari dia. Kenapa masih loe terima aja si?" gerut Septia penuh penekanan saat Tifani menyodorkan kiriman Alan tepat di depan wajahnya.

"Dan berulang - ulang kali juga gue bilang kalau Alan itu type orang yang sama sekali tidak menerima penolakan," balas Tifany tak kalah cuek.

Septia memutar mata. Matanya masih menatap lurus kearah Tifany yang masih mengulurkan tangannya. "Ya udah, kalau gitu loe buang aja," saran Septia baru kemudian mengalihkan perhatiannya kearah novel yang sedari tadi ia baca sebelum kemuculan Tifany menganggu konsentrasinya.

"Jangan!!! Sayang donk," potong Tifany cepat.

"Hu.... Bilang aja kalau loe yang mau cokelatnya makanya loe nggak mau nolak pemberian Alan," cibir Septia. Diam diam gadis itu melirik kearah sahabatnya.

"Bukan gitu. Gue cuma sayang aja kali. Makanan enak gini maen buang aja," Tifany membela diri.

"Sayang sama cokelatnya atau orangnya?" balas Septia sembari bergumam.

"Apa?" Tifany mengurungkan gerakan tangannya yang sedang meletakan mengantungkan tas ke dinding. Kepalanya menoleh kearah Septia. Tapi yang di tatap sama sekali tidak menoleh. Gadis itu malah terlihat tengelam dengan bacaannya.

"Loe barusan ngomong apa Sep?" ulang Tifany lagi.

"No Ada bebek pake helm," Septia menjawab acuh tak acuh. Tatapan Tifany menyipit. Ia yakin tadi bukan itu kalimat yang Septia ucapkan.

"Oh ya, tadi gue ketemu kak Nara. Dia titip pesan sama gue, katanya kalau loe udah pulang loe di suruh kerumahnya," tambah Septia beberapa saat kemudian.

"Gue? Ada apa?" tanya Tifany sambil menunjuk wajahnya sendiri.

"Tau..." Septia angkat bahu. Ditutupnya buku yang ia baca. Matanya melirik kearah jam yang melingkar di tangan baru kemudian bangkit berdiri. Berjalan kearah meja rias di sudut kamar. Tangannya sibuk merapikan poni rambutnya yang sedikit berantakan. Tifany baru menyadari kalau penampilan gadis itu terlihat rapi. Siap mau keluar.

"Loe mau kemana?" Tanya Tifany heran.

"Ada deh. Mau tau aja. Udah gue cabut dulu ya. Da..." tanpa menunggu balasan dari Tifany, Septia sudah keburu menghilang di balik pintu. Meninggalkan sahabatnya yang masih heran dan penasaran akan rutinitanya setiap sore sejak dua minggu yang lalu.

"Hati - hati," teriak Tifany walau pun sosok sahabatnya sudah tidak terlihat. Tapi ia yakin suara cemprengnya masih mampu untuk ditangkap oleh indra pendengar Septia.

"Ia. Loe juga. Inget, mang Danang itu sudah punya istri. Jangan di godain aja. Ha ha ha," balasan Septia masih terdengar. Bahkan walau wujudnya sudah tidak terlihat, ia masih mampu melemparkan ledekan.

"Rese loe," balas Tifany sengaja berteriak. Sebagai balasan hanya suara tawa yang sama terdengar baru kemudian hilang. Kalau saja Septia masih ada di hadapannya pasti saat ini sendal sudah melayang kekepala. Heran, tuh anak suka iseng banget. Padahal ia juga sudah tau dengan pasti kalau Tifany hanya menyapa mang Danang, tukang kebun tetangga sebelah setiap pagi hanya karena kebetulan ia lewat pas disampingnya yang sedang menyiram bunga ataupun membersihkan kebun. Tapi tetap saja Septia selalu mengodanya. Emang dasar Kurang kerjaan tuh anak.

Next to Cerpen cinta rasa yang tertinggal part 2.

Detail Cerpen


Ana Merya
Ana Merya ~ Aku adalah apa yang aku pikirkan ~

14 comments for "Cerpen Cinta Rasa Yang Tertinggal ~ 01 / 05"

  1. wah mantap ni cerpen nya. . .aku udah follow blog ini. . .mohon follback.

    ReplyDelete
  2. baguz bnget mbak cerpennya............... mnyntuh bangettttt

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. Oke.....
      Nanti di folow back ya.
      pake hape nggak bisa soalnya.

      Delete
  4. wah punya talenta penulis itu bagus loh apalagi kya ukhtii klau terus dikembangkan manfaatnya tidak hanya diri sebdiri semakin cerdas dan kreatif tapi juga bagi orang lain akan terhibur dan senang membaca cerita tersebut,, pahala lagi yg di dapat,,, great,,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ma kasih....
      Tadinya si cuma iseng.
      Tapi syukurlah kalau memang bisa menghibur.
      Terima kasih juga karena sudah berkunjung.

      Delete
  5. Keren...

    T O P B G T

    Lanjutkan ya mba.... Like This

    ReplyDelete
    Replies
    1. ma kasih.
      Lanjut?.
      Kan udah end...
      He he.
      Tapi ya deh, ntar di lanjutin lagi....

      Delete
  6. wah keren ya cerpennya, dikembangkan aja terus nanti pasti bisa ngalahkan kang abik,, dr cerpen ke novel n ke layar lebar dech,, :-)
    dah saya follow jg nich, keren sich,,,

    ReplyDelete

Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...